FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM (HADIST KE EMPATBELAS)

 
عنْ أنَس بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ الله عَنْهُ، أنَّهُ قَالَ: “كَانَ رَسول الله يَدْخُلُ الخلاء فَأحْمِلُ أنَا وَغُلام نَحوِى إدَاوَةً مِنْ ماء وَعَنَزَةَ فَيَسْتَنْجِي بِاْلمَاء”.

 “dari Anas bin Malik_radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi buang hajat, maka saya dan seorang pemuda sepertiku membawa satu ember berisi air dan kayu tombak, lalu beliau beristinja’ dengan air.”[HR. Al Bukhari – Muslim]


Faedah yang terdapat dalam Hadits :

1.      Bolehnya beristinja’ dengan menggunakan air.
Berintinja’ dari buang hajat ada tiga keadaan:
  1. Mencukupkan dengan air saja. Hal ini boleh, dengan dalil hadits Anas diatas.
  1. Mencukupkan dengan batu saja. Hal ini boleh sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits Abu Hurairah yang telah lewat (lihat hadits keempat).
  1. Menggabungkan antara batu dan air ketika beristinja’. Dalam hal ini para ulama berselisih pendapat, namun pendapat yang kuat dan terpilih adalah hal tersebut tidak disunnahkan, karena tidak ternukilkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjamak (menggabungkan) antara air dan batu ketika beristinja’. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Muqbil dan juga Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni.
 Berkata Syaikh Al Albani: “Menjamak antara batu dan air, tidaklah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan aku kuatir hal ini merupakan perbuatan Ghuluw (berlebihan) dalam agama ini.
Berkata Syaikh Muqbil: Tidak sah satu hadits pun tentang menjamak antara batu dan air. Apakah perbuatan ini sampai pada derajat bid’ah? Tidak, namun sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila ingin beristinja’ dengan batu maka sah, demikian pula dengan air maka sah pula dan ini lebih utama serta lebih membersihkan.

Masalah  :
Manakah yang lebih utama, beristinja’ dengan air atau dengan batu?
Pendapat yang kuat adalah dengan air, karena denganya lebih bersih dan tidak meninggalkan bekas dan bau, berbeda kalau beristinja’ dengan batu. Ini adalah pendapat jumhur ulama, dan dipilih oleh Asy Syaukani, Syaikh Muqbil dan Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Aldeni.

2.      Wajib bagi seseorang dan juga kaum muslimin secara umum untuk menutup auratnya dan jangan sampai tersingkap ketika buang hajat. Allah Ta’ala berfirman:

{قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ}

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” [QS. An Nuur: 30]

Dalam hadits Abdullah bin Ja’far, ia berkata;

«وَكَانَ أَحَبَّ مَا اسْتَتَرَ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَاجَتِهِ، هَدَفٌ أَوْ
 حَائِشُ نَخْلٍ»

“Sesuatu yang paling disukai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dijadikan alat bersembunyi untuk menunaikan hajatnya adalah bangunan WC dan kebun pohon kurma.” [HR. Muslim]
Dalam Hadits Mu’awiyah bin Haidah_radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

« احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُك ».

“Jagalah auratmu kecuali kepada istrimu atau budak yang kamu miliki.” [HR. Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Syaikh Al Albani]
Adapun apabila dia berada dipadang pasir atau yang semisalnya, tidak ada WC maupun tempat berlindung untuk buang hajat, maka hendaknya dia menjauh dari pandangan manusia. Sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits-hadits berikut ini;

- عَنْ مُغِيرَةَ بْنِ شُعْبَةَ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَقَالَ: «يَا مُغِيرَةُ خُذِ الإِدَاوَةَ»، فَأَخَذْتُهَا، فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَوَارَى عَنِّي، فَقَضَى حَاجَتَهُ.

“dari Mughirah bin Syu’bah berkata, “Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan, beliau bersabda: “Wahai Mughirah, ambilkan segayung air.” Aku lalu mencarikan air untuk beliau, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi menjauh hingga tidak terlihat olehku untuk buang hajat. [Muttafqun 'alaihi]

عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا ذَهَبَ الْمَذْهَبَ أَبْعَدَ»

“dari Al Mughirah bin Syu’bah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila hendak pergi untuk buang hajat, maka beliau menjauh. [HR. Abu Dawud, dishahihkan Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil]

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي قُرَادٍ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاجًّا فَرَأَيْتُهُ خَرَجَ مِنْ الْخَلَاءِ فَاتَّبَعْتُهُ بِالْإِدَاوَةِ أَوْ الْقَدَحِ فَجَلَسْتُ لَهُ بِالطَّرِيقِ وَكَانَ إِذَا أَتَى حَاجَتَهُ أَبْعَدَ.

“dari Abdurrahman bin Abu Qurad berkata; saya keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangka berhaji, saya melihat beliau keluar dari kamar kecil, saya mengikuti beliau dengan membawa bejana dari kulit atau tempat air lalu saya duduk di jalan menunggunya. Dan jika beliau hendak buang hajat, maka beliau pergi menjauh.” [HR. Ahmad, dishahihkan Syaikh Muqbil]

3.    Hendaknya seorang muslim terlebih dahulu mempersiapkan air atau batu untuk beristinja’ disaat akan buang hajat.

4.    Boleh bagi seseorang meminta kepada orang lain untuk membantu dalam hajatnya, seperti mengambilkan air untuk berwudhu atau beristinja’ atau yang lainnya.

5.    Membantu seorang ulama atau orang yang berilmu dalam menunaikan hajatnya adalah merupakan kemulyaan bagi seorang murid. Berkata Abu Darda’_radhiyallohu ‘anhu:

“أَوَلَيْسَ عِنْدَكُمْ ابْنُ أُمِّ عَبْدٍ صَاحِبُ النَّعْلَيْنِ وَالوِسَادِ، وَالمِطْهَرَةِ”

“Bukankah bersama kalian disana ada Ibnu Ummu ‘Abd, pembawa sepasang sandal (nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), pemilik tikar dan bejana? (maksudnya adalah Abdullah bin Mas’ud radliallahu ‘anhu). [HR. Al Bukhari]

Abu Darda’ memuji Abdullah bin Mas’ud karena dia menjadi pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menunaikan hajatnya.

Wallahu a’lam wal muwaffiq ila ash shawab.

[ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_17 Shafar 1435/20 Des. 2013_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah]