عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ
– رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ – «إذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ، فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ
وَلَا بَوْلٍ، وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا».قَالَ أَبُو
أَيُّوبَ: ” فَقَدِمْنَا الشَّامَ، فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ قَدْ بُنِيَتْ نَحْوَ الْكَعْبَةِ،
فَنَنْحَرِفُ عَنْهَا، وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ”
.“dari
Abu Ayyub_radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Apabila kalian mendatangi tempat buang hajat, maka janganlah kalian
menghadap kiblat saat buang air besar atau buang air kecil dan jangan pula
membelakanginya, tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat.”Abu Ayyub berkata;
“Saat kami mendatangi negeri Syam, kami mendapati WC (disana) dibangun
menghadap kiblat, lalu kami berpaling darinya dan meminta ampun kepada Allah.”[HR.
Al Bukhary – Muslim]
HADITS
KETIGABELAS
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – قَالَ: «رَقَيْتُ يَوْمًا عَلَى بَيْتِ
حَفْصَةَ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَقْضِي حَاجَتَهُ
مُسْتَقْبِلَ الشَّامَ، مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ».
“dari
Ibnu Umar_radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Suatu hari saya memanjat rumah
Hafshah. Maka saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk untuk
buang hajat dalam keadaan menghadap Syam dan membelakangi kiblat.”[HR. Al
Bukhary – Muslim]
Faedah yang terdapat dalam Hadits :
1.
Larangan menghadap kiblat dan membelakanginya
disaat buang hajat. Namun para ulama berbeda pendapat dari sisi hukumnya
menjadi delapan pendapat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syaukani dalam kitab
Nail Al Authar, namun kita sebutkan disini hanya empat pendapat yang terkuat
dari sekian pendapat yang ada;
Pendapat pertama ;
hukumnya haram secara mutlak, baik buang hajatnya didalam WC maupun di
padang pasir atau yang semisalnya. Ini adalah pendapat Abu Ayyub, Mujahid, An
Nakha’i, Ats Tsauri, dan pendapat ini didukung dan dipilih oleh Ibnu Hazem,
Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim dan Syaikh Al Albani_rahimahumullah.Diantara
dalil-dalil mereka adalah:a. Hadits Abu Ayyub diatas.b. Hadits Abu Hurairah,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
« إِذَا
جَلَسَ أَحَدُكُمْ عَلَى حَاجَتِهِ فَلَا يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا».
“Jika salah seorang dari kalian duduk untuk memenuhi hajatnya, maka
janganlah dia menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya.” [HR. Muslim]
Sisi pendalilan mereka: bahwa hadits ini menunjukan secara mutlak
larangan menghadap kiblat dan membelakanginya disaat buang hajat.
Pendapat kedua ;
Hukumnya boleh secara mutlak, baik buang hajatnya didalam WC maupun di
padang pasir atau yang semisalnya. Ini adalah pendapat ‘Urwah bin Zubair, Rabi’ah
dan Dawud Azh Zhahiri_rahimahumullah.Diantara dalil-dalil mereka adalah:a.
Hadits Ibnu ‘Umar diatas.b. Hadits Jabir, ia berkata;
«نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِبَوْلٍ،
فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلُهَا»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam telah melarang kami buang air kecil menghadap kiblat. Namun saya
melihat beliau setahun sebelum wafat, beliau kencing menghadap kiblat.”[HR.
Ahmad dan Ashhab As Sunan, kecuali An Nasa'i. Hadits ini telah dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil]
Sisi Pendalilan mereka:
Hadits Jabir ini menghapus hukum
larangan menghadap kiblat atau membelakanginya disaat buang hajat.
Pendapat ketiga;
Hukumnya haram apabila di tempat
terbuka seperti padang pasir atau yang semisalnya. Namun apabila didalam WC
atau tempat tertutup maka tidak mengapa. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy
Syafi’i, Ahmad, Ishaq dan yang lainnya. Dan dinisbahkan oleh Ibnu Hajar bahwa
ini adalah pendapat jumhur ulama. Pendapat ini didukung dan dipilih oleh Al
Bukhari, Ibnul Mundzir, Ibnu ‘Abdil Bar, Al Khathaabi dan Syaikh
Muqbil_rahimahumullah.
Dalil mereka adalah:
Hadits Ibnu ‘Umar menunjukan
bolehnya menghadap kiblat atau membelakanginya disaat buang hajat jika di WC
atau tempat tertutup. Adapun ditempat terbuka seperti padang pasir atau yang
semisalnya maka tidak boleh.
Pendapat keempat;
Hukumnya makruh, baik buang hajatnya
didalam WC maupun di padang pasir atau yang semisalnya. Ini adalah pendapat An
Nakha’i, Ahmad dan Abu Hanifah dalam salah satu riwayat mereka dan juga Abu
Tsaur. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni_hafizhahullah.Dalil
mereka adalah menggabungkan semua hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah
ini.
Mereka berkata:”Apabila terdapat
dalil-dalil yang kelihatannya saling bertentangan dalam satu masalah dalam
keadaan semua dalil tersebut adalah shahih; sebagian hadits menunjukan
keharaman dan sebagian yang lainnya menunjukan kehalalan atau boleh, maka
selama memungkinkan dalil-dalil tersebut dijamak (digabungkan) hukumnya, maka
langkah ini lebih diutamakan untuk ditempuh daripada menempuh langkah nasikh
dan mansukh (penghapusan hukum) salah satu dalil yang ada.
Dengan langkah ini, maka kita
nyatakan bahwa larangan tersebut kita bawa kepada hukum makruh, bukan haram,
karena perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal tersebut
menunjukan bahwa hal tersebut tidaklah haram untuk dilakukan, melainkan makruh
saja.
”Kesimpulan:
Dari empat pendapat yang telah kita
paparkan diatas, yaitu tentang hukum buang hajat menghadap kiblat atau
membelakanginya, maka pendapat yang terkuat dan yang kami pilih dalam masalah
ini – wallahu a’lam – adalah pendapat terakhir yang mengatakan bahwa hukum
dalam masalah ini adalah makruh. Alasan kita memilih pendapat ini adalah:
- Hukum asal suatu larangan adalah haram, namun telah datang dari hadits Ibnu ‘Umar dan juga hadits Jabir diatas, memalingkan hukum dari haram menjadi makruh. Karena perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam dua hadits ini memberikan faedah bahwa hal itu tidak dilarang.
- Jika alasan dibedakannya hukum antara di WC dan padang pasir karena di WC terhalangi oleh tembok, sehingga tidak menghadap kiblat atau membelakanginya secara langsung disaat buang hajat, maka dijawab: “bukankah orang yang buang hajat dipadang pasir atau yang semisalnya juga terhalangi oleh gunung atau gedung-gedung atau pohon-pohon yang berada antara dia dengan kiblat?!c. Adapun yang mengklaim bahwa perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah khushushiyah untuk beliau, maka ini adalah pengklaiman tanpa didasari dengan dalil. Karena hukum asal apa saja yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah untuk dicontoh, sebagaimana firman Allah ta’ala:
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
[QS. Al Ahzab: 21]
{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا}
“Apa yang datang dari Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”[QS.
Al Hasyr: 7]
Masalah :
Hukum buang hajat dengan menghadap
Baitul Maqdis atau membelakanginya?
Pendapat yang terpilih adalah boleh,
tidak ada kemakruhan padanya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dipilih oleh
Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni_hafizhahullah.Adapun hadits Ma’qil bin Abi Ma’qil
As Asady, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَتَيْنِ بِبَوْلٍ
أَوْ غَائِط
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam melarang kita menghadap dua kiblat (Makkah dan Baitul Maqdis) pada
saat buang air besar atau buang air kecil.”[HR. Abu Dawud, didha'ifkan Syaikh
Al Albani karena pada sanadnya terdapat perawi bernama Abu Zaid, dia perawi
yang mungkar]
Masalah :
Hukum Istinja setelah buang hajat
dengan menghadap kiblat atau membelakanginya?
Tidak ada dalil yang jelas
menunjukan larangan hal ini. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dipilih oleh
Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni_hafizhahullah.
2.
Berkata Ibnu Hajar_rahimahullah: “Ibnu
Umar_radhiyallahu ‘anhuma tidaklah bermaksud ingin mengawasi (perbuatan) Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam disaat itu, tidaklah dia naik atap tersebut
melainkan karena kebetulan ada hajat yang darurat, hal ini sebagaimana yang
ditunjukan dalam suatu riwayat dengan lafadz “(kebetulan) aku menoleh sebentar”
yaitu riwayat Al Baihaqi dari jalan Nafi’ dari Ibnu ‘Umar.
Ya, telah tersepakati dari riwayat
yang ada bahwa hal ini bukan kesengajaan, sehingga karena tidak ingin
kehilangan faedah, maka beliau menjaga hukum syar’i ini (untuk disampaikan).
[Fathul Bari 1/247]
Wallahu a’lam wal muwaffiq ila ash shawab
[✏ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin
Damiri Al Jawy_13 Shafar 1435/16 Des. 2013_di Daarul Hadits Al
Fiyusy_Harasahallah]