FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM (HADITS KESEPULUH)

 عَنْ نُعَيْمِ الْمُجْمِرِ عَنْ أبيِ هريرة رَضِيَ الله عَنْهُ عَنِ النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم أنَهُ قَالَ: «إنَّ أمتي يُدْعَون يومَ القيَامةِ غُرُّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثارِ الْوُضُوءِ، فَمن استطَاَعَ مِنْكُمْ أن يُطِيلَ غرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ».وفي لفظ آخر: رَأيْتُ أبَا هُريرةَ يتوضأ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيهِ حَتى كَادَ يَبْلُغُ المَنْكِبَينِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ حَتَى رَفَعَ إلَى السَّاقَيْن، ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: «إن أمتي يُدْعَوْنَ يَوْم القِيَامَةِ غرا مُحَجلِين من آثار الوُضُوءِ، فمَنِ اسْتَطَاَعَ مِنْكُمْ أنْ يُطِيل غرته وَتَحْجيلَهُ فَلْيَفْعَل».وفي لفظ لمسلم: سَمِعْتُ خليلي صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: « تبلغ الحِلْيَةُ من الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوُضُوءُ».


“dari Nu’aim Al Mujmir, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya umatku akan dihadirkan pada hari kiamat dalam keadaan putih bercahaya disebabkan bekas wudhu, barangsiapa di antara kalian bisa memperpanjang cahayanya hendaklah ia lakukan.” [HR. Al Bukhary – Muslim]


dalam lafazh yang lain: “aku melihat Abu Hurairah berwudlu, lalu membasuh wajahnya dan kedua tangannya hingga hampir mencapai lengan, kemudian membasuh kedua kakinya hingga meninggi sampai pada kedua betisnya, kemudian dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya umatku datang pada hari kiamat dalam keadaan putih bercahaya disebabkan bekas wudhu. Maka barangsiapa di antara kalian mampu untuk memanjangkan putih pada wajahnya maka hendaklah dia melakukannya’.” [HR. Muslim]dalam lafazh Muslim: “Perhiasan seorang mukmin adalah sejauh mana air wudhunya membasuh.”

Faedah yang terdapat dalam Hadits:

1.    Keutamaan berwudhu, yang mana bekas wudhu menjadi sebab dia mendapatkan cahaya putih berkilau nan indah pada muka, tangan dan kakinya.

2.  Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini, bahwa wudhu merupakan khushushiyah (syariat yang khusus) untuk umat islam. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah_rahimahullah. Mereka juga berdalil dengan hadits :


لَكُمْ سِيمَا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ مِنْ الْأُمَمِ

“Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh umat-umat selainnya.” [HR. Muslim, dari shahabat Abu Hurairah_radhiyallahu 'anhu]

Namun jumhur ulama berpendapat bahwa wudhu juga merupakan syariat umat-umat terdahulu. Dengan dalil-dali sebagai berikut:

  1. Kisah Sarah istri Nabi Ibrahim_’alaihis salam bersama seorang raja yang zhalim. Tatkala sang raja berhasrat kepada Sarah dan ingin merusak kehormatannya, maka Sarah berkata: “Ijinkan saya berwudhu dan menunaikan shalat.” Kemudian dia pergi berwudhu dan shalat. [HR. Al Bukhari, dari shahabat Abu Hurairah_radhiyallahu 'anhu]

  1. Kisah Juraij seorang ahli ibadah ketika dituduh berzina dengan seorang perempuan, dalam hadits tersebut dia juga meminta ijin untuk berwudhu dan kemudian shalat.Dua hadits ini menunjukan bahwa wudhu juga nerupakan syariat umat sebelum kita.

Kesimpulan:

Dari dalil-dalil yang dipaparkan oleh kedua pendapat diatas, menunjukan bahwa pendapat yang kuat dan terpilih adalah pendapat jumhur ulama, bahwa wudhu juga merupakan syariat umat sebelum kita. Adapun yang menjadi khushushiyah umat ini adalah tanda putih yang bercahaya pada wajah, kedua tangan dan kaki disebabkan bekas wudhu. Pendapat ini dipilih Ibnu Hajar dan Syaikhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny_hafizhahullah.

3.    Para ulama berbeda pendapat dalam hukum memanjangkan basuhan pada kedua tangan hingga hampir mencapai lengan, dan juga membasuh kedua kaki hingga meninggi sampai pada kedua betisnya;Pendapat pertama; hal tersebut merupakan sunnah. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah diatas;

“فَمن استطَاَعَ مِنْكُمْ أن يُطِيلَ غرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ”

“barangsiapa di antara kalian bisa memperpanjang cahayanya hendaklah ia lakukan”Pendapat kedua; hal tersebut bukan hal yang disunnahkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Ahli Madinah dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya.

Diantara dalil mereka adalah sebagai berikut:

Pengklaiman bahwa disunnahkan memanjangkan basuhan pada kedua tangan hingga hampir mencapai lengan, dan juga membasuh kedua kaki hingga meninggi sampai pada kedua betisnya adalah ibadah, maka membutuhkan dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Para shahabat yang meriwayatkan sifat-sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai siku, dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki saja, tidak lebih dari itu.

Demikian pula yang ditunjukan dalam ayat wudhu, yang mana ayat tersebut termasuk diantara ayat yang terkahir diturunkan.Adapun hadits Abu Hurairah,dengan lafazh;

“فَمن استطَاَعَ مِنْكُمْ أن يُطِيلَ غرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ”

“barangsiapa di antara kalian bisa memperpanjang cahayanya hendaklah ia lakukan”Lafazh ini adalah mudraj, yaitu bukan dari kalam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, melainkan dari kalam Abu Hurairah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar, Syaikhul Islam dalam Majmu Fatawa [1/279-280],

Ibnul Qayyim dalam kitab I’lam Al Muwaqi’in [6/316], dan juga Syaikh Al Albany dal kitab Adh Dha’ifah [3/106].

Hal ini diperkuat juga dengan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, yang mana padanya Nu’aim Al Mujmir – perawi dari Abu Hurairah – ragu dalam meriwayatkan lafazh tersebut:

فَقَالَ نُعَيْمٌ: “لَا أَدْرِي قَوْلُهُ مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ مِنْ قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مِنْ قَوْلِ أَبِي هُرَيْرَةَ”

“Nu’aim berkata; Aku tidak tahu apakah perkataan “barangsiapa dari kalian mampu memperpanjang cahayanya hendaklah ia lakukan ” sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau perkataan Abu Hurairah?” [HR. Ahmad]

Demikian pula perbuatan Abu Hurairah tersebut telah diinkari oleh para shahabatnya, ini hanyalah ijtihad dari beliau_radhiyallahu ‘anhu, terbukti dia melakukan hal ini dengan secara sembunyi-sembunyi karena kuatir diinkari, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

عَنْ أَبِي حَازِمٍ قَالَ كُنْتُ خَلْفَ أَبِي هُرَيْرَةَ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ فَكَانَ يَمُدُّ يَدَهُ حَتَّى تَبْلُغَ إِبْطَهُ فَقُلْتُ لَهُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا هَذَا الْوُضُوءُ فَقَالَ يَا بَنِي فَرُّوخَ أَنْتُمْ هَاهُنَا لَوْ عَلِمْتُ أَنَّكُمْ هَاهُنَا مَا تَوَضَّأْتُ هَذَا الْوُضُوءَ سَمِعْتُ خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنْ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوَضُوءُ“

dari Abu Hazim dia berkata,
“Saya di belakang Abu Hurairah saat dia sedang berwudhu untuk shalat. Dia memanjangkan tangannya hingga mencapai ketiaknya, maka saya berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Hurairah, wudhu apaan ini? ‘ Dia menjawab, ‘Wahai bani Farrukh, kalian di sini?! kalau saya tahu kalian di sini niscaya aku tidak akan berwudhu dengan (cara) wudhu ini. Saya mendengar kekasihku shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perhiasan seorang mukmin adalah sejauh mana air wudhunya membasuh.” [HR. Muslim]

Kesimpulan:

Pendapat yang kuat dan terpilih dalam masalah ini adalah pendapat kedua. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhamad bin Ibrahim Alu Syaikh, Syaikh As Sa’di, Syaikh Bin baz, Syaikh Al Albani, Syaikh Al ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil, Syaikhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny dan ulama yang lainnya.

Wallahu a’lam wal muwaffiq ila ash shawab.

[ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_7 Shafar 1435/10 Des. 2013_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah]