FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM (HADIST KEENAMBELAS)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – قَالَ «مَرَّ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ: إنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا
أَحَدُهُمَا: فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الْآخَرُ: فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ فَأَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً، فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ، فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً فَقَالُوا: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، لِمَ فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا».


“Dari Abdullah bin ‘Abbas_radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena sesuatu yang besar. Yang satu disiksa karena tidak berlindung disaat kencing, sementara yang satunya suka mengadu domba.” Kemudian beliau mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelahnya menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini?” beliau menjawab: “Semoga siksa keduanya diringankan selama dahan pohon ini masih basah.” [HR. Al Bukhari – Muslim]

Faedah yang terdapat dalam Hadits :

1.      Najisnya air kencing manusia, baik sedikit maupun banyak. Para ulama sepakat atas najisnya air kencing manusia. Akan datang pembahasan khusus masalah ini dalam hadits Anas yang akan datang insya Allah.

2.      Wajibnya menghindarkan diri dari percikan air kencing dan menjaga aurat disaat kencing.

Catatan :
Dengan hadits ini, jumhur ulama berdalil bahwa hukum istinja’ atau istijmar adalah wajib. Barangsiapa tidak beristinja’ setelah buang hajat maka dia berdosa, dan terancam dengan siksa kubur.
Adapun Imam Malik dalam salah satu riwayat darinya, Abu Hanifah dan ulama yang lain berpendapat bahwa hal tersebut mustahab. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

«مَنْ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ، مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَحْسَنَ، وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ، »

“Barangsiapa yang beristinja dengan batu hendaklah dia melakukannya dengan ganjil, barangsiapa yang melakukannya maka dia telah berbuat baik dan barangsiapa yang tidak melakukannya maka tidak ada dosa baginya.” [HR. Ad Darimi, Abu Dawud dan Ibnu majah, didha'ifkan oleh Syaikh Al Albani]
Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni_hafizhahullah.

3.      Lafazh (لَا يَسْتَتِرُ) dalam hadits memiliki dua makna:

Disaat kencing, dia tidak menghindarkan dirinya dari percikan air kencingnya, yang mana dia adalah najis. Disaat kencing, dia tidak menjaga auratnya, yaitu dibiarkan tersingkap.

4.    Tidak menghindarkan diri dari percikan air kencingnya dan juga tidak menjaga auratnya disaat kencing merupakan sebab mendapatkan siksa kubur. Dalam riwayat yang lain termasuk juga bagi yang tidak beristinja’ setelah kencing.
Dari Abu Hurairah_radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

«أَكْثَرُ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَ الْبَوْلِ»

“Mayoritas siksa yang terjadi di alam kubur adalah karena sebab kencing.” [HR. Ibnu Majah, Al Hakim dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al Imam Al Bukhari dalam kitab Al 'Ilal Al Kabir karya At Tirmidzi, Ad Daruquthni, dan Syaikh Al Albani]

5.   Hendaknya seseorang yang ingin kencing memilih tempat yang aman, agar terhindar dari percikan air kencingnya.
Berkata Ibnul Qayyim_rahimahullah: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila ingin buang air kecil maka mencari tempat yang lunak, yaitu tanah yang lembek dan mudah meresap.” [Zaadul Ma'aad: 1/164]

6.      Haramnya perbuatan mengadu domba, dan hal tersebut merupakan sebab mendapatkan siksa kubur.
Dari Hudzaifah_radhiyallahu ‘anhu berkata; aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ»
“Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba.” [HR. Al Bukhari – Muslim]
7.      Para ulama berbeda pendapat tentang makna:

“وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ”

Sebagian ulama mengatakan bahwa maknanya: “Dan keduanya disiksa bukan karena dosa besar” yaitu menurut kaca mata mereka.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa maknanya: “Dan keduanya disiksa bukan karena sesuatu yang besar” yaitu bukan sesuatu yang berat untuk dihindari.
Pendapat terakhir ini dipilih oleh Al Imam Al Baghawi, Ibnu Daqiqil ‘Ied dan yang lainnya.

8.      Apakah hukum menancapkan dahan kurma pada kuburan?
Sebagian ulama berpendapat bahwa hal tersebut disunnahkan, karena hukum asal perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlaku juga untuk umatnya, dan demikian pula Buraidah bin Al Hushaib telah berwasiat untuk hal tersebut dilakukan pada kuburannya jika dia meninggal.
Sebagian ulama yang lainnya berpendapat bahwa tersebut tidak disyariatkan, disebabkan beberapa hal;

  1. Hal ini merupakan kekhusuhan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits Jabir_radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

«إِنِّي مَرَرْتُ بِقَبْرَيْنِ يُعَذَّبَانِ، فَأَحْبَبْتُ، بِشَفَاعَتِي، أَنْ يُرَفَّهَ عَنْهُمَا، مَا دَامَ الْغُصْنَانِ رَطْبَيْنِ»

“Aku melewati dua kuburan yang (penghuninya) sedang diadzab. Maka aku ingin dengan syafa’atku agar mereka diringankan (dari adzab kubur) selama dahan pohon ini masih basah.” [HR. Muslim]
  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan hal ini kepada kuburan yang lainnya. Dan demikian pula para Khulafa Ar Rasyidin – Abu bakr, Umar, Ustman dan Ali – dan para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang lainnya, tidak ternukilkan dari mereka bahwa mereka melakukan hal tersebut kecuali hanya Buraidah saja.

  1. Adzab kubur merupakan perkara yang ghaib, tidak diketahui oleh kita. Berbeda dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan ijin dari Allah Ta’ala maka beliau bisa mengetahui bahwa dua penghuni kubur tersebut sedang disiksa.

  1. Kalau seandainya kita lakukan hal tersebut pada suatu kuburan, berarti kita telah berprasangka buruk kepada penguhuni kubur tersebut. Karena kita menyangka bahwa penghuni kubur tersebut sedang disiksa. Bisa jadi dia sedang mendapatkan kenikmatan di kuburannya, dalam keadaan kita tidak mengetahuinya.

Pendapat kedua adalah pendapat yang benar, bahwa menancapkan dahan kurma pada kuburan tidak disyariatkan.
Pendapat ini dipilih oleh Al Khathabi, Al Qadhi ‘Iyadh dan para ulama kita seperti Syaikh bin Baz, Syaikh Al Albani, Syaikh Al ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil, Al Lajnah Ad Daimah dan Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni. Bahkan mereka mengatakan bahwa hal tersebut termasuk perbuatan bid’ah.

9.  Penetapan adanya siksa kubur, ini adalah aqidah ahlussunnah wal jama’ah, berbeda dengan aqidah mu’tazilah, yang mana mereka mengingkari adanya siksa kubur.
Diantara dalil-dalil yang menetapkan adanya siksa kubur;
Firman Allah Ta’ala:

النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ

“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras”. [QS. Ghafir; 46]
Hadits Abu Hurairah_radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

«إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الْآخِرِ، فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ»

“Jika salah seorang diantara kalian selesai dari tasyahhud akhir, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari empat perkara, yaitu; siksa jahannam, siksa kubur, fitnah kehidupan dan kematian, dan keburukan Al Masih Ad Dajjal.”[HR. Muslim]
Hadits Anas, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

«لَوْلَا أَنْ لَا تَدَافَنُوا لَدَعَوْتُ اللهَ أَنْ يُسْمِعَكُمْ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ»

“Andai kalian tidak akan ketakutan ketika saling menguburkan, niscaya aku berdoa kepada Allah agar memperdengarkan adzab kubur pada kalian.”
[HR. Muslim]

Wallahu a’lam wal muwaffiq ila ash shawab.

[ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_24 Shafar 1435/27 Des. 2013_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah]