FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM ( HADITS KEDUAPULUH LIMA)

عَنْ أُمِّ قَيْسِ بِنْتِ مِحْصَنٍ الْأَسَدِيَّةِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – «أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ، لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ، إلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَأَجْلَسَهُ فِي حِجْرِهِ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ عَلَى ثَوْبِهِ، وَلَمْ يَغْسِلْهُ».
وفي حديث عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أُتِيَ بِصَبِيٍّ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ، فَأَتْبَعَهُ إيَّاهُ». وَلِمُسْلِمٍ: «فَأَتْبَعَهُ بَوْلَهُ، وَلَمْ يَغْسِلْهُ» .

“Dari Ummu Qais binti Mihshan Al Asadiyah_radhiyallahu ‘anha, bahwa dia datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan. Rasulullah lalu mendudukkan anak kecil itu dalam pangkuannya sehingga ia kencing dan mengenai pakaian beliau. Beliau kemudian minta diambilkan air, lalu memercikkannya dan tidak mencucinya.” [HR. Al Bukhari - Muslim]
Dalam hadits ‘Aisyah_radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah diserahi bayi yang kemudian bayi tersebut mengencingi pakaian beliau. Beliau lalu meminta sedikit air kemudian mencipratkan air pada bekas air kencing tersebut.” [HR. Al Bukhari - Muslim]
Dalam riwayat Muslim: “kemudian mencipratkan air pada bekas air kencing tersebut tanpa memcucinya.”
Faedah yang terdapat dalam hadits:
1.      Air kencing bayi adalah najis, baik bayi laki-laki maupun bayi perempuan. Dinukilkan oleh Al Imam An Nawawy Ijma’nya para ulama bahwa air kencing bayi najis. Namun penukilan ijma’ ini tidak benar, karena Azh Zhahiriyah berpendapat sucinya air kencing bayi.
Pendapat yang benar adalah pendapat Jumhur ulama bahwa dia najis, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mencuci bekas air kencing bayi. Hal ini menandakan bahwa dia najis. Dalil jumhur hadits Abu As Samh_radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ»
“Kencing anak perempuan itu di cuci, sedangkan kencing anak laki-laki cukup diperciki”. [HR. Abu Dawud, dishahihkan Syaikh Al Albany dan Syaikh Muqbil]
Berkata Al Khathaby_rahimahullah: “Dibolehkannya memerciki (air kencing) bayi laki-laki bukanlah karena air kencingnya tidak najis, akan tetapi karena ada keringanan pada cara menghilangkan (najisnya). Ini adalah pendapat yang benar. [Syarah Shahih Muslim: 3/195]
2.      Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membersihkan air kencing bayi laki-laki cukup dengan percikan air saja.
Masalah:
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah cara mencuci air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan?
Pendapat pertama:
Air kencing bayi laki-laki dan perempuan sama hukumnya, yaitu cukup diperciki saja. ini adalah pendapat Imam Malik, Asy Syafi’i dan Al Auza’i. Mereka mengkiyaskan bayi perempuan dengan bayi laki-laki. Pengkiyasan mereka adalah kiyas yang bathil, karena bertentangan dengan dalil yang shahih.
Pendapat kedua:
Kedua-duanya wajib dicuci, tidak cukup dengan diperciki saja. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanafiyah. Pendapat pertama dan kedua tidaklah dibangun diatas dalil, bahkan menyelisihi hadits yang shahih.
Pendapat ketiga:
Bekas kencing bayi laki-laki cukup dengan diperciki saja, sedangkan bekas kencing bayi perempuan wajib dicuci. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, ‘Atho, Al Hasan Al Bashri, Az Zuhri, Ibnu Wahb dan Ibnu Hazem. Dalil mereka adalah hadits Abu As Samh yang telah lewat, dan juga hadits Ali dan hadits Ummu Al Fadhli Lubabah bintu Al Harits yang semakna dengan hadits Abu As Samh [HR. Ahamad dan Abu Dawud]. Tiga hadits ini dishahihkan Syaikh Muqbil dalam kitab Ash Shahih Al Musnad.
Ini adalah pendapat yang benar, karena dibangun diatas dalil yang shahih.
Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh As Sa’dy, Syaikh Utsaimin, Syaikh Muqbil, Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni dan yang lainnya.
PERINGATAN:
Yang dimaksud dengan memercikan air disini adalah memercikan air sampai basahnya merata ke tempat yang terkena kencing, namun tidak sampai airnya mengalir atau menetes, yaitu cukup sekedar basah saja tanpa dikucek, wallahu a’lam.
CATATAN:
Adapun kotoran (tinja) bayi laki-laki dan perempuan hukumnya sama, keduanya najis dan wajib dicuci walaupun dia baru lahir.
Masalah: Bayi laki-laki yang cukup bekas air kencingnya diperciki saja:
Sebagian ulama berpendapat bahwa ini khusus untuk bayi yang belum pernah mengkonsumsi makanan maupun minuman sama sekali.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dalam hadits bab ini adalah bayi yang belum mengkonsumsi makanan. Yang dimaksud dengan makanan disini adalah selain susu ibu, kurma yang digunakan untuk tahnik ketika lahir dan madu yang digunakan untuk obat jika bayi sakit. Ini adalah pendapat yang kuat dan terpilih. Pendapat ini dipilih Ibnu Qudamah, Ibnu Hajar dan Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeny_hafizhahullah.
3.      Hikmah dibedakannya antara air kencing bayi perempuan dan laki-laki dipersilihkan oleh para ulama;
Sebagian ulama berpendapat: Ini adalah perkara Ta’abbudy (murni peribadahan semata) yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Jika hal ini berupa perintah maka wajib bagi kaum muslimin untuk menjalankan perintah tersebut, meskipun dia tidak mengetahui hikmahnya.
Sebagian ulama berpendapat: Air kencing bayi laki-laki mengumpul, sedangkan air kencing perempuan menyebar.
Sebagian ulama berpendapat: Air kencing perempuan baunya lebih busuk atau anyir daripada air kencing laki-laki.
Sebagian ulama berpendapat: bayi laki-laki lebih dicintai dan lebih banyak dibawa jalan-jalan daripada bayi perempuan, sehingga datang keringanan hukum pada cara membersihkan najisnya. Karena jika setiap dia kencing, kemudian diperintahkan untuk dicuci, maka hal ini akan menjadi beban berat bagi umat. Ini adalah pendapat yang dipilih Ibnu Hajar_rahimahullah.
CATATAN:
Dalam beribadah kepada Allah, sebagai seorang muslim wajib bagi dia tunduk dan taat kepada syariat-Nya, baik dia mengetahui hikmah ibadah tersebut ataupun tidak. Karena Allah Ta’ala Maha Hikmah dalam segala aspek syariat-Nya. Tidaklah Allah syariatkan suatu ibadah, melainkan padanya hikmah yang agung, hanya saja ilmu dan akal manusia terkadang dapat menjangkaunya dan terkadang pula tidak dapat menjangkaunya. Sifat seorang mu’min adalah beriman dengan segala syariat yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah ta’ala berfirman:
{آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ}
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” [QS. Al Baqarah: 285]
{… وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا…}
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” [QS. Al Hasyr: 7]
Wallahul muwaffiq ilash shawab
[ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_2 Rabi'uts Tsani 1435/ Pebruari 2014_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah ]