FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM (HADITS KEDUAPULUH EMPAT)

عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ بْنِ عَاصِمٍ الْمَازِنِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ «شُكِيَ إلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إلَيْهِ: أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ، فَقَالَ: لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا، أَوْ يَجِدَ رِيحًا».
“Dari ‘Abbad bin Tamim dari Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al Maziny_radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang lelaki diadukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. bahwa dia seolah-olah mendapati sesuatu (kentut) ketika shalat. Beliau bersabda, “Dia tidak perlu membatalkan shalatnya hingga dia mendengar suara atau mencium bau.” [HR. Al Bukhari - Muslim]
Faedah yang terdapat dalam hadits:
1.      Dalam hadits ini terkandung didalamnya qaidah yang agung, sebagaimana yang dikatakan Al Imam An Nawawy_rahimahullah: “Hadits ini merupakan prinsip dasar Islam dan kaidah yang agung dari kaidah-kaedah ilmu fiqih, yaitu segala sesuatu dihukumi dengan hukum asalnya hingga datang (hukum) yang menetapkan kebalikannya, tidaklah bisa dirusak (hukum asal) disebabkan karena sekedar keraguan yang muncul.” [Syarah Shahih Muslim: 4/49]
Kaidah ini dinamakan oleh Ahli ilmu ushul “Sesuatu yang yakin tidaklah dapat dihilangkan dengan suatu keraguan”.
Berkata Al Imam An Nawawy_rahimahullah: “Diantara contoh masalah dari kaidah ini adalah barangsiapa ragu dalam mencerai istrinya, membebaskan budaknya, air itu najis ataukah suci, pakaian, makanan tersebut najis ataukah tidak, apakah telah sholat tiga rakaat atau empat, sudah ruku’ dan sujud apa belum, telah niat berpuasa, shalat, berwudhu, i’tikaf ataukah belum, dalam keadaan dia ditengah-tengah ibadahnya dan yang semisalnya, maka semua bentuk keraguan tersebut tidaklah mempengaruhi ibadahnya. Hukum asal semua ini tidak terjadi.” [Syarah Shahih Muslim: 4/50]
Semua itu tidak dianggap karena semuanya hanya didasari oleh keraguan. Sesuatu yang yakin tidaklah dapat dihilangkan dengan suatu keraguan.
 CATATAN:
a.       Seseorang yakin bahwa dirinya telah berwudhu, kemudian dia ragu bahwa dirinya berhadats ataukah tidak?! maka pendapat yang kuat dan terpilih adalah dia tetap dengan keyakinan semula bahwa dia masih dalam keadaan suci. Ini adalah pendapat Jumhur ulama. Dalil mereka hadits diatas – hadits Abdullah bin Zaid.
Berkata Ibnu Daqiqil ‘Ied_rahimahullah: “Hadits ini nampak jelas untuk berprinsip dalam keadaan suci dan membuang keraguan.” [Ihkamul Ahkam: 1/118].
b.      Seseorang yakin bahwa dia telah berhadats, kemudian dia ragu bahwa dia sudah berwudhu lagi ataukah belum?!
Berkata Al Imam An Nawawy_rahimahullah: Apabila dia yakin dirinya berhadats, dan ragu apakah sudah berwudhu (lagi)?! Maka wajib bagi dia berwudhu dengan Ijma’nya kaum muslimin [Syarah Shahih Muslim: 4/50].
c.       Seseorang yakin bahwa dia telah berwudhu dan juga telah berhadats, hanya saja dia ragu mana yang lebih dahulu?! maka dia berprinsip dengan dugaan yang mendominasi. Jika dugaan yang mendominan bahwa hadats lebih dulu, maka berarti dia telah berwudhu. Dan begitu pula sebaliknya. Ini adalah pendapat yang dipilih Asy Syaukani dan juga Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeny.
Namun jika tidak ada dugaan yang mendominan maka wajib bagi dia berwudhu. Ini pendapat yang dipilih oleh An Nawawy, Asy Syaukany dan juga Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeny.
Pembahasan lebih luas tentang qaidah ini dibahas dalam kitab kaidah-kaedah fiqhiyah. Sekedar keraguan bahwa dia berhadats ataukah tidak, maka hal ini tidak membatalkan wudhunya maupun shalatnya. Diharamkan seseorang keluar dari shalat tanpa adanya udzur yang jelas. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. [QS. Muhammad: 33]
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.” [QS. Al Baqarah: 196]
2.      Tidak boleh seseorang apabila dia melakukan suatu ibadah, kemudian dia keluar atau tinggalkan ibadah tersebut semaunya sendiri, kecuali apabila ada sebabnya.
Berkata Ibnul Mundzir_rahimahullah: “Para ulama sepakat bahwa keluarnya angin dari dubur membatalkan wudhu. Ijma’ ini dinukil pula oleh Ibnu Qudamah_rahimahullah dalam kitab Al Mughni [1/230].
Yang diinginkan dari mendengar suara (kentut) dan baunya dalam hadits adalah agar melahirkan keyakinan. Kalau seandainya tidak terdengar dan juga tidak pula tercium baunya, namun dia tahu dan yakin bahwa telah kentut dari dari jalan yang lain, maka dihukumi telah batal wudhunya. Karena tidak dipersyaratkan batalnya wudhu dengan sebab kentut jika dia mendengar suaranya atau mencium baunya.
Berkata An Nawawy_rahimahullah: Makna (hadits): dia mengetahui wujud salah satunya, bukan dipersyaratkan harus mendengar suara kentutnya dan mencium (baunya), hal ini disepakati oleh seluruh kaum muslimin [Syarah Shahih Muslim: 4/49].
Wallahul muwaffiq ilash shawab
[ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_27 Rabi'ul Awal 1435/28 Januari 2014_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah ]