عَنْ
عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ –
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ: كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً، فَاسْتَحْيَيْتُ أَنْ
أَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِمَكَانِ ابْنَتِهِ
مِنِّي، فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ:
«يَغْسِلْ ذَكَرَهُ، وَيَتَوَضَّأُ» وَلِلْبُخَارِيِّ «اغْسِلْ ذَكَرَكَ وَتَوَضَّأْ» وَلِمُسْلِمٍ «تَوَضَّأْ وَانْضَحْ فَرْجَكَ«
▐▐ PERINGATAN ▐▐:
·
Lafazh hadits:
وَلِمُسْلِمٍ
«تَوَضَّأْ وَانْضَحْ فَرْجَكَ«
“Percikilah
kemaluanmu”
☞
Lafazh hadits ini telah dikritik keshahihannya oleh Al Imam Ad Daruquthni. Imam
Muslim bersendirian dalam meriwayatkan lafazh ini.
Faedah yang terdapat dalam hadits:
·
Dinukilkan oleh Al Imam An
Nawawy dan Asy Syaukani bahwa para ulama sepakat atas kenajisan air madzi.
Namun disebutkan oleh Ibnu Rajab bahwa sebagian ulama Hanabilah dan Imam Ahmad
dalam salah satu riwayatnya, mereka berpendapat bahwa madzi itu suci.
·
Namun pendapat yang benar
adalah madzi adalah najis, dengan dalil hadits Ali, yang mana Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mencucinya. Tidaklah diperintahkan untuk
dicuci melainkan karena dia najis.
Masalah:
Apakah wajib mencuci
semua bagian kemaluan atau bagian yang terkena madzi saja?
Para ulama
berselisih pendapat dalam masalah ini;
Pendapat pertama:
Pendapat pertama:
Wajib mencuci semua
bagian kemaluannya, termasuk padanya biji kemaluannya. Ini adalah pendapat Imam
Malik, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah. Dalil mereka bahwa lafazh
dzakar jika dimutlakkan maka mencakup semua bagian kemaluan.
Pendapat kedua:
wajib mencuci bagian
yang terkena madzi saja. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dalil mereka
diantaranya adalah;
a) Riwayat Al Isma’ily dalam hadits Ali dengan lafazh:
»تَوَضَّأْ وَاغْسِلْهُ«
“Berwudhulah dan cucilah dia”
Disini dhamir Ha
(kata ganti) pada lafazh «وَاغْسِلْهُ» kembalinya pada madzi.
b) Penyebutan lafazh “dzakar’ tidaklah melazimkan untuk mencuci semua
bagian kemaluan. Berkata Ibnu Hajar_rahimahullah: “Hal ini semakna dengan sabda
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:
«مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلاَ يُصَلِّ حَتَّى
يَتَوَضَّأَ«.
“Barangsiapa menyentuh kemaluannya
maka janganlah shalat hingga ia berwudlu.” [HR. At Tirmidzy, dishahihkan
Syaikh Al Albany dan Syaikh Muqbil]
·
Dalam hadits ini menunjukan
bahwa diantara yang membatal wudhu adalah menyentuh kemaluan. Dalam hadits ini
bukanlah maknanya: barangsiapa menyentuh semua bagian kemaluan maka batal
wudhunya. Tidak! tetapi sedikit atau banyak bagian kemaluan yang dia sentuh
maka membatalkan wudhu.
·
Ini adalah pendapat yang
kuat dan terpilih. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Hazem, Ibnu Hajar, Ibnu
Qudamah, Ibnu Abdil Bar, Asy Syaukany dan Syaikhuna Abdurrahman Al Adeny.
▐▐ PERINGATAN
▐▐:
Dalam riwayat Abu
Dawud dari hadits Ali bin Abi Thalib, dengan lafazh:
»يَغْسِلْ ذَكَرَهُ وَأُنْثَيَيْهِ
وَيَتَوَضَّأ«
“Hendaklah dia membasuh
kemaluannya dan kedua biji kemaluannya, kemudian berwudhu.”
Riwayat ini adalah
riwayat yang lemah, karena riwayat ini dari jalan ‘Urwah dari Ali bin Abi
Thalib. Sedangkan riwayat ‘Urwah dari Ali adalah Munqathi’ah (riwayat yang
terputus), sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Hatim dan Abu Zur’ah.
Semua riwayat yang menjelaskan mencuci kedua biji kemaluan adalah lemah dan sebagiannya munkar, sebagaimana dijelaskan Syaikhuna dalam Syarah Al Muntaqa.
Semua riwayat yang menjelaskan mencuci kedua biji kemaluan adalah lemah dan sebagiannya munkar, sebagaimana dijelaskan Syaikhuna dalam Syarah Al Muntaqa.
Masalah:
Apakah cukup jika
diperciki saja pada bagian yang terkena madzi?
Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat;
·
Pendapat pertama:
Bagian
kemaluan yang terkena madzi, cukup diperciki saja. Ini adalah pendapat Imam
Ahmad, dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Asy Syaukany. Dalil
mereka riwayat muslim:
»تَوَضَّأْ وَانْضَحْ فَرْجَكَ«
“Percikilah
kemaluanmu”
Sebagaimana
telah lewat bahwa lafazh hadits ini telah dikritik oleh Al Imam Ad Daruquthni
keshahihannya.
·
Pendapat kedua:
Harus
dicuci bagian yang terkena madzi, tidak cukup dengan diperciki saja. Ini adalah
pendapat yang dipilih Syaikhuna Abdurrahman Al Adeny. Dalil pendapat ini:
a. Lafazh hadits (تَوَضَّأْ وَانْضَحْ
فَرْجَكَ) adalah lafazh yang
telah dikritik keshahihannya oleh Al Imam Ad Daruquthny.
b. Kalau seandainya shahih, maka lafazh (النضح) dalam bahsa Arab, terkadang bermakna
mencuci dan terkadang bermakna memerciki. Dan telah tetap lafazh dalam Ash
Shahihain bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mencuci
bagian kemaluan yang terkena madzi. Maka riwayat dalam Ash Shahihain menunjukan
bahwa lafazh (النضح) yang dimaksud adalah mencuci, bukan bermakna memerciki.
Wallohu a’lam, oleh
karena itu maka pendapat kedua adalah pendapat yang kuat dan terpilih.
Masalah:
Bagaimana dengan
baju atau celana yang terkena madzi?
Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini;
·
Pendapat pertama: harus
dicuci, tidak cukup dengan percikan air saja. ini adalah pendapat Imam Malik,
Asy Syafi’I dan Ishaq. Dalil mereka hadits Ali dalam kitab ini.
·
Pendapat kedua: Cukup
diperciki dengan air. ini adalah pendapat Imam Ahmad dan Ibnu Hazem, dan
dipilih oleh Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim, Asy Syaukany. Dalil mereka zhahir
hadits Sahl bin Hunaif, ia berkata:
»كُنْت أَلْقَى مِنْ الْمَذْيِ شِدَّةً وَعَنَاءً
وَكُنْت أُكْثِرُ مِنْهُ
فَقَالَ: إنَّمَاالِاغْتِسَالَ
فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ
يَجْزِيك مِنْ ذَلِكَ
الْوُضُوءُ فَقُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ بِمَا يُصِيبُ ثَوْبِي مِنْهُ؟ قَالَ:
يَكْفِيك أَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحَ بِهِ ثَوْبَك حَيْثُ تَرَى
أَنَّهُ قَدْ أَصَابَ مِنْهُ«
“
Aku sering mengeluarkan
madzi karena lelah, hingga aku sering mandi karena hal itu. Lalu aku ceritakan dan menanyakan
hal itu kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menjawab: “Sesungguhnya cukup bagimu berwudhu dari
hal tersebut.” Lalu aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan pakaianku
yang terkena?” beliau menjawab: “Cukup bagimu mengambil air setangkup telapak tangan,
lalu percikkanlah pada
bagian pakaian yang kamu ketahui terkena madzi.” [HR. Abu Dawud, At Tirmidy, dan Ibnu
Hibban, dihasankan Syaikh Al Albany]
Para ulama sepakat
bahwa tidak ada kewajiban mandi janabah dari keluarnya madzi, hanya saja wajib
baginya berwudhu sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits Ali.
Para
ulama sepakat bahwa madzi termasuk perkara yang membatalkan wudhu. Karena
tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan berwudhu melainkan
karena dia membatalkan wudhu.
▐▐ FAEDAH
▐▐:
Seringnya seseorang
mengeluarkan madzi disebabkan oleh dua faktor:
1. Bisa jadi disebabkan karena kondisi tubuh yang sangat fit dan
sehat. Hal ini terkadang menambah gejolak syahwat pada dirinya, sehingga dengan
itu banyak mengeluarkan madzi.
2. Bisa jadi disebabkan karena sakit.
۩ Wallahul muwaffiq ilash shawab
۩
[✏
ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_24 Rabi'ul Awal 1435/25 Jan.
2014_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah ]