عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ
الْيَمَانِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – قَالَ «كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ – فَبَالَ، وَتَوَضَّأَ، وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ»
“Dari Hudzaifah
ibnul Yaman_radhiyallahu ‘anhu, ia bekata: “Aku bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, beliau pergi buang air kecil, berwudhu, dan mengusap
sepatunya.” [disebutkan penulis_rahimahullah secara ringkas]
Peringatan:
Hadits Hudzaifah
dengan lafazh yang disebutkan oleh penulis_rahimahullah tidak terdapat dalam
Shahih Al Bukhari maupun Shahih Muslim. Namun lafazh ini lebih mendekati kepada
lafazh Shahih Muslim, dengan lafazh:
عَنْ
حُذَيْفَةَ، قَالَ: «كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ، فَبَالَ قَائِمًا» فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ: «ادْنُهْ» فَدَنَوْتُ
حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ «فَتَوَضَّأَ فَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ».
“Aku pernah berjalan
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, saat kami sampai di suatu tempat
pembuangan sampah suatu kaum, beliau buang air kecil sambil berdiri, maka aku
pun menjauh dari tempat tersebut. Setelah itu beliau bersabda: ‘Kemarilah.’ Aku
pun menghampiri beliau hingga aku berdiri di samping kedua tumitnya. Beliau lalu
berwudhu dengan mengusap atas sepasang sepatu beliau.”
Faedah yang terdapat dalam hadits:
1. Disyariatkan mengusap
sepatu disaat sedang safar, baik safarnya dalam jarak dekat maupun jauh, karena
hadits berlafazh umum. Ini adalah pendapat Ibnu Hazem, Ibnu Taimiyah dan yang
lainnya. Pendapat ini dipilih pula oleh Syaikhuna Abdurahman Al
‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
Masalah:
Apakah
boleh mengusap sepatu meskipun safarnya dalam rangka kemaksiatan?
Pendapat
yang terpilih adalah dia tetap mendapat keringanan untuk dapat mengusap
sepatunya, karena hadits bersifat umum, mencakup semua jenis safar. Hanya saja
dia berdosa dengan kemaksiatannya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Azh
Zhahiriyah dan yang lainnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Hazem dan Syaikhuna
Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
Masalah:
Apakah
ada batasan waktu dibolehkan untuk orang muqim (menetap) dan musafir mengusap
sepatu?
Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat;
Pendapat
pertama:
Tidak
ada batasan, kapan dia mau mengusap maka boleh-boleh saja. Ini adalah pendapat
Asy Sya’bi, Abu Salamah bin Abdirrahman, Imam Malik, dan yang lainnya. Mereka
berdalil dengan hadits Ubay bi ‘Imarah, ia berkata:
»يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمْسَحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ؟
قَالَ: نَعَمْ قَالَ: يَوْمًا؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: وَيَوْمَيْنِ؟ قَالَ: نَعَمْ
قَالَ: وَثَلَاثَةَ
أَيَّامٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَمَا شِئْت«
“Wahai
Rasulullah, apakah aku boleh mengusap kedua khuf? Beliau menjawab: “Boleh.” Dia
bertanya lagi; Satu hari? Beliau menjawab: “Ya, satu hari.” Dia bertanya lagi;
Dua hari? Beliau menjawab: “Ya, dua hari.” Dia bertanya lagi; Tiga hari? Beliau
menjawab: “Ya, sesukamu!” [HR. Abu Dawud, dilemahkan oleh Syaikh Al Albani]
Berdalil
juga dengan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir_radhiyallahu anhu:
“Uqbah
bin ‘Amir datang dari Mesir menemui Umar Ibnul Khaththab, berkata Umar: Sejak
kapan kamu tidak melepas kedua sepatumu? ‘Uqbah menjawab: sejak hari jumat ke
juma’at berikutnya”. Umar berkata: “Engkau telah mencocoki sunnnah”. [HR. Ad
Daruquthni, dilemahkan oleh Syaikh Al Albani]
Pendapat
kedua:
Syariat
mengusap sepatu ada batasan waktunya. Untuk muqim sehari semalam, sedangkan
untuk musafir tiga hari tiga malam. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dalil
mereka hadits Ali bin Abi Thalib_radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;
»جَعَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ، وَيَوْمًا
وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ«
“‘Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjadikan waktu tiga hari dan malamnya bagi
musafir (untuk mengusap khuf) dan sehari semalam bagi orang yang muqim.” [HR.
Muslim]
⏰
Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama. Pendapat ini dipilih oleh
Ulama kibar dizaman kita, seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh Al Albani, Syaikh
‘Utsaimin, Syaikh Muqbil, dan yang lainnya termasuk, didalamnya Syaikhuna
Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
Masalah:
Kapan
mulai penghitungannya?
Para ulama berselisih pendapat
dalam masalah ini;
Pendapat
perrtama:
Batasan
ini terhitung mulai dari dia berhadats atau batal wudhunya. Jika dia berhadats
pada jam delapan pagi, maka batasan waktu dihitung mulai dari jam delapan pagi.
Pendapat
kedua:
Batasan
ini terhitung mulai dari awal dia mengusap sepatu setelah berhadats. Jika dia
telah berwudhu, terus berhadats pada jam sebelas siang, kemudian dia berwudhu
kembali pada jam dua belas dengan mengusap sepatunya pada jam tersebut. Maka
hitungannya dimulai dari jam duabelas siang. Ini adalah pendapat Al Auza’i, Abu
Tsaur, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh
Asy Syinqithi, Syaikh Al Albani, Syaikh Al ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil dan juga
Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
Ini
adalah pendapat yang kuat dan terpilih. Karena zhahir hadits adalah kapan dia
mulai mengusap maka disitulah mulai dihitung. Wallahu a’lam.
Masalah:
Jika
batasan waktu telah habis, apakah batal wudhunya?
Pendapat
yang kuat dan terpilih adalah tidak batal wudhunya selama dia belum berhadats
disaat datang masa akhir dia mengusap. Misalnya dia muqim, mulai dia mengusap
pertama kali pada jam tujuh pagi, kemudia besok harinya ketika jam setengah
tujuh pagi dia berwudhu, maka ketika lewat jam tujuh pagi wudhunya belum batal
sampai zhuhur, maka boleh dia sholat zhuhur dengan wudhu tersebut. Adapun
setelah itu jika dia berhadats, maka tidak boleh bagi dia mengusap sepatuntya.
Bahkan wajib bagi dia membasuh kakinya jika ingin berwudhu kembali. Ini adalah pendapat
yang dipilih oleh Syaikh Al ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil dan juga Syaikhuna
Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
2. Apabila dia berhadats dari hadats yg kecil, seperti kencing atau
tidur atau yang lainnya, maka boleh bagi dia tetap mengusap sepatunya selama
batasan waktu mengusap belum habis. Namun apabila dia tertimpa janabah, maka
wajib bagi dia melepas sepatunya, meskipun masa waktu mengusap belum habis. Ini
adalah perkara yang tidak diperselisihkan dikalangan para ulama. Dalil dalam
masalah ini adalah hadits Shafwan bin ‘Assal_radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
»كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لاَ نَنْزِعَ خِفَافَنَا
ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ، إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ، وَلَكِنْ مِنْ
غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ«
“Jika
kami sedang bepergian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan
agar kami tidak membukanya selama tiga hari tiga malam kecuali ketika kami
junub. Dan tetap boleh untuk mengusapnya karena buang air besar, buang air
kecil dan tidur.” [HR. At Tirmidzi dan An Nasai, dishahihkan oleh Sayikh Al
Albani dan Syaikh Muqbil]
Masalah:
Bolehkah
mengusap kaos kaki?
Kaos
kaki yang menutup mata kaki maka hukumnya hukum sepatu, boleh bagi dia
mengusapnya jika sebelum memakainya dalam keadaan wudhu yang sempurna yaitu
dengan mencuci kaki. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazem, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Al Albani, Syaikh Al ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil dan
Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala. Dalil mereka diantaranya
hadits Tsauban_radhiyallahu ‘anhu, ia berkjata;
)) بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ سَرِيَّةً فَأَصَابَهُمُ الْبَرْدُ فَلَمَّا
قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ أَمَرَهُمْ أَنْ يَمْسَحُوا عَلَى الْعَصَائِبِ وَالتَّسَاخِينِ((
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus satu pasukan (untuk berperang
tanpa diikuti beliau), lalu mereka diliputi cuaca dingin. Maka setelah mereka
datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau memerintahkan
supaya mereka mengusap sorban dan tasakhin mereka. [HR. Ahmad dan Abu Dawud,
dishahihkam oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil]
Kalimat
Tasakhin dalam bahasa Arab mencakup juga kaos kaki.
Masalah:
Hukum
mengusap sarung tangan dan burqa’ (cadar/penutup muka)
Berkata
Al Imam An Nawawi: “Para ulama sepakat bahwa tidak boleh mengusap kaos tangan
dan cadar.”
Masalah:
Hukum
mengusap perban yang membalut luka?
Telah
datang hadits ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata;
انْكَسَرَتْ إِحْدَى زَنْدَيَّ، فَسَأَلْتُ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، «فَأَمَرَنِي أَنْ أَمْسَحَ عَلَى
الْجَبَائِرِ«
“Salah
satu lengan tanganku retak, maka aku tanyakan hal itu kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Kemudian beliau memerintahkan kepadaku agar mengusap bagian
atas kain pembalut luka.” [HR. Ibnu Majah, dilemahkan oleh Syaikh Al Albani,
bahwa hadits ini lemah sekali]
Karena
tidak adanya hadits yang shahih maka tidak disyariatkan untuk bertayamum
ataupun mengusap perbannya disaat berwudhu. Cukup bagi dia berwudhu dengan
membasuh anggota wudhu yang bisa dibasuh. Adapun perban tersebut tidak perlu
diusap. Ini adalah pendapat yang dilih oleh Ibnu Hazem, Syaikh Al Albani,
Syaikh Muqbil, dan Syaikhuna Abdurahman Al ‘Adeni_hafizhahullah Ta’ala.
Wallahul muwaffiq
ilash shawab
[✏
ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_20 Rabi'ul Awal 1435/21 Jan.
2014_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah].