عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – ، أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : « إذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ أَحَدِكُمْ
فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعاً».
وَلِمُسْلِمٍ : « أُولاهُنَّ بِالتُّرَابِ ».
وَلَهُ فِي حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ : أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : « إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الإِناءِ
فَاغْسِلُوهُ سَبْعاً وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ بِالتُّرَابِ ».
“Dari
Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seekor
anjing minum pada bejana salah seorang dari kalian, maka hendaklah dia
mencucinya tujuh kali.” [HR. Al Bukhary dan Muslim]
Dalam
riwayat muslim: “yang pertama dengan tanah.”
Diriwayatkan
oleh Al Imam Muslim dari Abdullah bin Mughaffal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Apabila seekor anjing menjilat pada suatu bejana, maka
kalian cucilah ia tujuh kali, dan gosoklah dengan tanah pada pencucian yang
kedelapan.”
✏ Faedah yang terdapat dalam Hadits:
1.
Anjing yang dimaksud dalam hadits diatas
mencakup semua jenis anjing, dengan dalil keumuman hadits tersebut. Huruf (ال) alif dan lam pada kalimat (الكلب)
memberikan faedah umum. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dipilih oleh
Syaikh Al ‘Utsaimin dan Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeny.
2.
Hukum tubuh atau bulu anjing dan air liurnya:
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat:
Pendapat pertama:
Air liur anjng najis, adapun tubuhnya suci. Ini adalah pendapat Abu
Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dan dipilih oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Diantara dalil mereka:
- Hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ
سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ »
“Sucinya bejana kalian apabila ia dijilat oleh anjing adalah dengan
mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah.” [HR. Muslim]
Mereka berkata: Kalimat (طَهُورُ) pada hakikatnya tidaklah dipakai dalam syari’at melainkan yang
diinginkan darinya bermakna mengangkat hadats atau najis.
Berkata Ibnu Hajar: “Apabila ada lafadz syar’i yang berputar padanya
makna secara bahasa dan hakikat syar’i, maka wajib dibawa ke hakikat syar’i,
kecuali jika ada dalil lain (yang membawa kepada makna secara bahasa).
- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mencuci sebanyak tujuh kali. Perintah mencuci dari hal tersebut menunjukan kenajisannya.
Berkata Syaikh Al ‘Utsaimin: “Kenajisannya lebih berat daripada
najis-najis lainnya. Sesungguhnya najis anjing tidak bisa suci kecuali dengan
tujuh kali basuhan, salah satunya dengan tanah.”
- Berkata Ibnu Hajar: “Telah datang dari Ibnu ‘Abbas, menjelaskan bahwa (perintah) mencuci dari air liur anjing dikarenakan dia najis. Atsar ini diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr Al Marwazy dengan sanad yang shahih, dan tidak ada satupun dari para shahabat yang menyelisihinya.” [Fathul Bari no hadits 172].
Pendapat Kedua:
Air liur anjing dan tubuhnya najis, ini adalah pendapat jumhur ulama.
Mereka mengkiyaskan tubuh anjing dengan air liurnya. Karena air liur bagian
dari anggota tubuh, sehingga jika dia najis maka tubuhnya pun ikut najis.
Namun pendalilan ini dijawab oleh Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa
[21/618]: “Adapun pengkiyasan bulu
anjing kedalam hukum air liurnya, maka hal ini tidaklah mungkin. Karena
air liur keluar dari dalam tubuh anjing, sedangkan bulu tumbuh dari bagian luar
tubuhnya.”
Diantara syarat dalam pengkiyasan; sesuatu yang dikiyaskan serupa sifatnya
dengan yang dikiyaskan. Bulu tumbuh dari bagian luar tubuh, sedangkan air liur
dari dalam tubuh, demikian pula bulu adalah benda padat, sedangkan air liur
benda cair. Maka dari dua perbedaan sifat ini tidak mungkin bisa dikiyaskan,
Wallahu a’lam.
Pendapat Ketiga:
Air liur anjing, bulunya dan seluruh bagian tubuhnya suci. Ini adalah
pendapat Imam Malik, Dawud, Az Zuhry, Ats Tsaury, Ibnul Mundzir, Ibnu Abdul
Bar, dan Imam Al Bukhary. Dalil-dalil mereka:
Hadits Abu Hurairah,
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي
بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ
ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ
لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ
الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ
لَهُ فَغَفَرَ لَهُ
“Pada suatu ketika ada seorang laki-laki sedang berjalan melalui suatu
jalan, lalu dia merasa sangat kehausan. Kebetulan dia menemukan sebuah sumur,
maka dia turun ke sumur itu untuk minum. Setelah keluar dari sumur, dia melihat
seekor anjing menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan. Orang
itu berkata dalam hatinya; ‘Alangkah hausnya anjing itu, seperti yang baru ku
alami.’ Lalu dia turun kembali ke sumur, kemudian dia menciduk air dengan
sepatunya, dibawanya ke atas dan diminumkannya kepada anjing itu. Maka Allah
berterima kasih kepada orang itu (diterima-Nya amalnya) dan diampuni-Nya
dosanya.” [Muttafqun ‘Alaihi]
Hadits Ibnu ‘Umar,Beliau berkata:
“Bahwa pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada beberapa
anjing yang kencing dan membuang kotoran di dalam masjid, namun para sahabat
tidak menyiramnya dengan sesuatu.” [HR. Al Bukhary].
Hadits ‘Adi bin Hatim,Nabi bersabda:
إِذَا أَرْسَلْتَ كِلَابَكَ
الْمُعَلَّمَةَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَإِنْ
قَتَلْنَ … الحديث
“Jika kamu lepas anjingmu yang terlatih dengan menyebut nama Allah, maka
makanlah apa yang ia tangkap untuk kamu, meskipun mereka membunuhnya.” [HR. Al
Bukhary dan Muslim].
Perintah mencuci pada hadits diatas sebagai bentuk peribadatan semata,
bukan karena najis. Karena kalau seandainya najis maka dengan satu kali cucian
saja sudah cukup.
Namun dalil-dalil yang dipakai pendapat ketiga ini telah dijawab oleh
para ulama:
- Hadits Abu Hurairah yang dijadikan dalil mereka, terkandung padanya kemungkinan-kemungkinan yang belum jelas. Berkata Ibnu Hajar: “Ada kemungkinan bahwa orang tersebut menuangkan air pada sesuatu kemudian dia kasihkan kepada anjing tersebut, atau dia telah mencucinya setelah dia pakai sepatunya untuk memberikan air minum kepada anjing tersebut, atau bisa juga dia kemudian tidak memakai kembali sepatunya.”
- Adapun anjing kencing dan membuang kotoran di dalam masjid pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hal itu telah dikeringkan najisnya oleh sinar matahari yang masuk ke dalam masjid sehingga tanah masjid kembali suci dengannya. Ini adalah jawaban yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan juga Syaikh Al ‘Utsaimin.
- Adapun hadits ‘Adi bin Hatim, maka dinukilkan oleh Syaikh Al ‘Utsaimin bahwa Syaikhul Islam berkata: “Sesungguhnya hal ini termasuk yang dimaafkan oleh syariat. Karena tidak ternukilkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam perintah mencuci hewan buruan yang ditangkap oleh anjing (pemburu) dengan mulutnya. [Majmu’ Fatawa:21/620].
Beliau berkata pula: Demikian pula dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: (وَلَغَ)
artinya menjilati, tidak mengatakan: (عَضَّ)
artinya menggigit.
Berkata Syaikh Al ‘Utsaimin: “karena terkadang keluar dari lambung
anjing ketika minum sesuatu yang tidak keluar ketika dia menggigit. Sehingga
tidak diragukan lagi kalau para shahabat tidak mencuci daging hewan buruan
sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. Hal ini karena ada padanya
keringanan (hukum). [lihat Asy Syarhul Mumti’: 1/420]
Al Imam Asy Syaukany berkata: “Bolehnya memakan hewan buruan yang
ditangkap (oleh anjing yang terlatih untuk berburu) tidak berarti menafikan
(meniadakan) kewajiban mensucikan najis yang melekat pada hewan buruan tersebut
karena tidak adanya perintah (mencuci). Hal ini karena tercukupkan dengan
dalil-dalil lain yang secara umum telah menunjukan kewajiban mensucikan sesuatu
yang terkena najis. Taruhlah hal itu diterima (tidak ada perintah), maka hal
itu karena disebabkan adanya keringanan hukum yang khusus pada hewan buruan.”
[Nail Al Authar: 1/69-70]
- Adapun perintah mencuci pada hadits diatas sebagai bentuk peribadatan semata, bukan dikarenakan dia najis, maka dijawab oleh Al Imam Ash Shan’any: “Hal ini dijawab, bahwa hukum asal perintah mencuci adalah suatu hal yang sudah jelas, hal tersebut disebabkan karena najis. Adapun dari sisi bilangan (dicuci sebanyak tujuh kali) maka ini adalah bentuk peribadatan semata.” Yaitu karena sulit dicari alasannya, kenapa harus dicuci tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.
Dan kita jawab pula dengan Atsar Ibnu ‘abbas yangb telah lewat, bahwa
perintah mencuci pada hadits karena dia najis. Tidak ada satupun dari para
shahabat yang menyelisihi pendapat Ibnu ‘Abbas, sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu Hajar.
Kesimpulan:
Kita lihat masing-masing pendapat memiliki dalil-dalil yang kuat. Namun
wallahu a’lam pendapat yang terkuat dari sisi dalil-dalinya dan terpilih adalah
pendapat pertama, yang mengatakan bahwa air liur anjing najis, adapun anggota
tubuh lainnya tidaklah najis, karena tidak ada dalil yang menunjukan hal
tersebut. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh para ulama ahlul tahqiq
seperti; Syaikhul Islam, Ibnu Hajar, Ash Shan’any, Asy Syaukany, Syaikh Al ‘Utsaimin
dan juga Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeny.
3. Wajib mencuci bejana air yang telah dijilati
anjing sebanyak tujuh kali. Perintah mencuci sebanyak tujuh kali pada hadits
menunjukan atas kewajiban hal tersebut. ini adalah pendapat jumhur dan dipilih
oleh para ulama yang telah tersebut diatas.
Catatan:
Adapun hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthny:
“Apabila seekor anjing menjilat pada suatu bejana, maka cucilah ia tiga
kali atau lima kali atau tujuh kali.”
Sepakat para ulama huffadz atas kedha’ifan (kelemahan) hadits ini.
Karena dalam sanadnya ada Abdulwahhab bin Adh Dhahak, dia matruk (ditinggalkan
haditsnya). Dan telah didustakan haditsnya oleh Abu Hatim.
Demikian pula riwayat fatwa Abu Hurairah, bolehnya mencucinya sebanyak
tiga kali saja, ini adalah riwayat yang mungkar, sebagaimana dijelaskan oleh
Ibnu ‘Adi dalam kitabnya “Al Kamil”. Yang benar bahwa Abu Hurairah berfatwa
sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
4. Wajibnya menggunakan tanah dalam mencuci bejana
yang dijilati anjing. Karena adanya perintah tersebut dalam hadits. Ini adalah
pendapat jumhur ulama dan dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy Syaukany,Ash Shan’any
dan Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeny.
Masalah:
Kapan menggunakan tanah dalam mencucinya?
Kebanyakan riwayat hadits menyebutkan pada cucian pertama dengan air dan
tanah. Dan juga riwayat ini lebih shahih dari sisi sanad-sanadnya. Karena jika
menggunakan tanah pada cucian terakhir, maka hal ini akan membutuhkan kembali
cucian selanjutnya untuk membersihkan tanah yang melekat pada bejana tersebut.
Ini adalah pendapat Jumhur ulama dan dipilih oleh Syaikh Al ‘Utsaimin dan
Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeny.
Masalah:
Bagaimana cara mencucinya?
Dijelaskan oleh Ash Shan’any dalam kitabnya [Subulus Salam: 1/52-53],
bisa dengan cara mencampurkan air dan tanah terlebih dahulu sampai keruh airnya
atau menuangkan air terlebih dahulu kedalam bejana kemudian baru ditaruh tanah,
atau sebaliknya. Semua cara ini boleh. Adapun menggosok bejana dengan tanah
saja tanpa dicampur dengan air maka ini tidak cukup, sebagaimana ditunjukan
dalam hadits Abu Hurairah dan juga hadits Abdullah bin Mughaffal.
Masalah:
Apakah sabun atau sikat bisa menggantikan kedudukan tanah?
Tidak sah sabun atau sikat atau bahan kimia yang lainnya menggantikan
kedudukan tanah untuk mencuci bejana tersebut, hal ini disebabkan oleh beberapa
hal:
Perintah dalam hadits menggunakan tanah.
Tidaklah diragukan bahwa dijaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
terdapat bahan-bahan untuk mencuci bejana selain tanah, seperti daun sidr
(bidara) dan sikat, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan
untuk mencuci dengannya.
Telah diteliti oleh para ahli kedokteran dan yang lainnya, bahwa pada
tanah terkandung zat pembersih dan pembunuh bakteri yang ada pada air liur
anjing, yang mana hal ini tidak terdapat pada bahan yang lainnya.
Ini adalah pendapat yang benar dalam masalah ini, sebagaimana yang
dikatakan oleh Al Imam An Naway, Ibnu Daqiqil ‘Ied, Al Bassam, Syaikh Al ‘Utsaimin
dan Syaikhuna Adurrahman Al ‘Adeny.
Masalah:
Apakah air yang terjilati anjing itu menjadi najis?
- Madzhab Malikiyah berpendapat tidak najis, hal ini karena mereka berpandangan air liur anjing tidak najis.
- Madzhab Syafi’iyah berpendapat najis, hal ini karena mereka berpandangan air liur anjing najis.
Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah kita lihat sifat air
tersebut, apakah salah satu sifatnya berubah disebabkan air liur anjing ataukah
tidak?! Jika tidak, maka kita kembalikan pada hukum asalnya, yaitu hukum asal
air itu suci. Telah lewat pembahasan ini pada hadits yang kelima.
5. Hukum
mencuci sebanyak tujuh kali dengan salah satunya dicampur dengan tanah hanya
khusus pada bejana yang dijilati oleh anjing. Adapun jika anjing menjilati
pakaian kita atau kaki kita, maka tidak perlu kita cuci seperti mencuci bejana
tersebut. Karena tidak ada dalil yang mensyariatkan hal tersebut. Ini adalah
pendapat yang dipilih oleh Syaikhuna Adurrahman Al ‘Adeny.
Masalah:
Jika babi menjilati atau minum dalam bejana, apakah hukumnya sama dengan
anjing?
Pendapat yang kuat dalam masalah ini; babi tidak bisa dikiyaskan dengan anjing,
hal ini karena dua hal:
- Dalil dan hukum ini hanya khusus untuk anjing.
- Pada jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah terdapat babi, namun tidak ternukilkan dari beliau menyamakan hukumnya dengan anjing.
Masalah:
Apakah babi itu najis?
Berkata Imam An Nawawy: “Tidak ada dalil yang menunjukan dengan jelas
najisnya babi.” [Syarh Al Muhadzdzab: 2/568]
Ini adalah pendapat Imam Malik, dan dipilih oleh Syaikhuna Abdurrahman
Al ‘Adeny.
Adapun firman Allah ta’ala:
أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ
رِجْسٌ
“atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor”
Lafadz (رِجْسٌ) dalam ayat ini tidak
menunjukan dengan jelas apakah yang dimaksud dengannya adalah najis ataukah
kotor dan menjijikan?!
Karena dalam hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
juga mensifati keledai jinak dengan lafadz (رِجْسٌ) [HR. Al Bukhary dan Muslim], dalam keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabat dahulu menunggang keledai jinak dan mengusapnya.
Wallohu
a’lam wal muwaffiq ila ash showab.
Apabila
pada tulisan ini kebenaran, itu semua semata-mata datangnya dari Allah ta’ala.
Dan apablia ada kesalahan maka itu semua datangnya dari diri saya dan juga dari
syaithan.
[Ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin
Damiri Al Jawy_18 Muharram 1435/22 Nov 2013_di darul Hadits Al
Fiyusy_Harasahallah]