Faidah-Faidah Fiqhiyah dari Kitab ‘Umdatul Ahkam (Hadits Kedua)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – : « لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ »


“Dari Abu Hurairah, dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah tidak menerima shalat salah seorang diantara kalian jika berhadas hingga ia berwudhu.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]

Faedah yang terdapat dalam Hadits:
1.      Wudhu merupakan syarat sahnya sholat.
Berkata Al Imam An Nawawy_rahimahullah: “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukan kewajiban berwudhu ketika akan menunaikan sholat. Umat Islam telah sepakat bahwa berwudhu merupakan syarat sahnya shalat.”
 
Beliau juga berkata: “Umat Islam juga telah sepakat tentang keharaman shalat tanpa berwudhu atau bertayammum jika tidak ada air.Baik itu shalat fardhu (wajib) maupun shalat sunnah.”
2.      Shalat seseorang dianggap batal apabila dia berhadast, baik hadatsnya karena sengaja maupun tidak sengaja.
3.      Barangsiapa dengan sengaja shalat tanpa berwudhu, sedangkan dia dia tidak memiliki udzur maka dia berdosa.

Masalah: Apakah dia dikafirkan (keluar dari islam) disebabkan dengan perbuatannya itu?

Jumhur ulama berpendapat bahwa orang tersebut tidak sampai dikafirkan dengan perbuatannya tersebut, namun sungguh dia telah melakukan perbuatan dosa yang sangat besar.
 Sebagian ulama mengakatakan dia kafir karena telah bermain-main dalam ibadah, ini adalah pendapat Abu Hanifah sebagaimana yang dinisbahkan oleh An Nawawy. Pendapat yang benar adalah pendapat Jumhur.
4.      Barangsiapa yang batal wudhunya ditengah-tengah shalatnya, maka tidak boleh baginya meneruskan shalatnya, bahkan wajib baginya keluar untuk berwudhu kembali. Jika dia tetap meneruskan shalatnya dalam keadaan telah batal wudhunya maka dia berdosa dan shalatnya tetap tidak sah.
5.      Demikian juga kalau dia sebagai imam shalat, jika batal wudhunya, maka harus keluar dari shalatnya untuk berwudhu, kemudian salah seorang makmum yang berada dibelakang imam maju kedepan untuk menggantikan posisi imam yang sudah keluar dari shalat.
6.      Apabila seseorang tidak mendapatkan air untuk berwudhu atau debu untuk bertayammum maka dia shalat sesuai dengan keadaannya.

 Allah ta’ala berfirman:

 فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
 
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [QS. Ath Thaghabun: 16]
 
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [QS. Al Baqarah: 286]

Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Dan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka kerjakanlah semampu kalian” [HR. Al Bukhari dan Muslim]

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Al Imam An Nawawy, beliau berkata: “Ini adalah pedapat yang paling kuat pendalilannya”
Dan pendapat ini juga dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekhuna Abdurrahaman Al ‘Adeny.

Masalah: Apakah dalam sujud syukur atau tilawah dipersyaratkan padanya berwudhu?
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah tidak dipersyaratkan berwudhu ketika melakukan sujud syukur mapun sujud tilawah. Karena tidak ternukilkan dalam satu hadits pun bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dulu ketika akan sujud syukur atau sujud tilawah apalagi memerintahkannya. Dua sujud ini tidak bisa dikiyaskan dengan shalat, karena dalam dua jenis sujud ini tidak dipersyaratkan harus menghadap kiblat. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Asy Syaukany dan juga Syekhuna Abdurrahaman Al ‘Adeny.

7.      Hal-hal yang dapat membatalkan wudhu yang telah disepakati oleh seluruh ulama adalah: keluarnya kotoran dari dubur, air kencing, air mani, madzi, wadzi, kentut, darah haid dan pingsan.
8.      Adapun selain dari apa yang kita sebutkan diatas, seperti; keluarnya batu atau cacing baik dari qubul (kemaluan) ataupun dubur maka pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah hal itu termasuk membatalkan wudhu, Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dipilih Syekh Al ‘Utsaimin dan Syekhuna Abdurrahaman Al ‘Adeny.

Wallohu ‘alam bishshowab.

Ditulis oleh Abu ‘Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_06 Muharam 1435/09 Nov 2013_di darul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah