Faedah yang terdapat dalam hadits:
1.
Sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasallam: "aku diberikan (hak) syafa'at" yang dimaksud adalah
Syafa'ah 'Uzhma (yang paling agung) pada hari kiamat ketika manusia tertimpa
kesedihan, kengerian dan kesukaran yang tidak mampu mereka pikul.
Syafa'at 'Uzhma ini khusus
diberikan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam saja. Ketika
manusia datang kepada Adam, kemudian kepada Nuh, kemudian Ibrahim, kemudian
Musa dan Isa alaihimus salam, namun mereka semua tidak bisa memberi syafa'at
dan masing-masing mengatakan:
«نَفْسِي نَفْسِي، اذْهَبُوا إِلَى غَيْرِي»
"Oh diriku, oh diriku
(diriku sendiri butuh syafa'at), silahkan pergi menemui selainku!"
Sehingga akhirnya manusia
pergi meminta kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliaupun
bangkit untuk memohonkan syafa'at di sisi Allah Azza wa Jalla untuk
menyelamatkan hamba-hamba-Nya dari keadaan seperti ini. Allah mengabulkan doa
beliau dan menerima syafa'atnya.
Hal ni termasuk Al-Maqam
Al-Mahmud (tempat yang terpuji) yang telah dijanjikan oleh Allah Ta'ala,
sebagaimana dalam firman-Nya.
"Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu ; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." [QS. Al-Israa : 79]
"Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu ; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." [QS. Al-Israa : 79]
2.
Sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasallam: "dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya,
sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia" hal ini sebagaimana yang Allah
firmankan:
"Dan Kami tidak mengutus
kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira
dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui." [QS. Saba': 28]
"Katakanlah: "Hai
manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua." [QS.
Al-A'raaf: 158]
"Maha suci Allah yang
telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya (nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wasallam), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam." [QS. Al-Furqaan: 1]
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ،
ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا
كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ«
"Dari Abu Hurairah dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwa
Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik Yahudi dan Nashrani
mendengar tentangku (risalahku), kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama
yang aku diutus dengannya,
kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka."
Masalah:
Pembatal Tayammum
Pembatal tayammum sama dengan
pembatal wudhu, baik dari hadats kecil maupun besar. Dan ditambah lagi jika
telah didapatkannya air.
Seorang telah bertayammum,
kemudian mendapatkan air, maka dalam masalah ini ada beberapa keadaan;
a.
Dia mendapatkan air setelah
keluar waktu shalat, contohnya dia shalat Zhuhur dengan tayammum, kemudian pada
waktu Asar dia mendapatkan air, apakah wajib baginya mengulang shalat
Zhuhurnya? Para ulama sepakat bahwa orang tersebut tidak perlu mengulang
shalatnya.
b.
Dia mendapatkan air setelah
selesai menunaikan shalat, sedangkan waktu shalat tersebut masih tersisa,
apakah wajib baginya mengulang shalatnya? Pendapat yang kuat dan terpilih
adalah tidak perlu baginya mengulang shalatnya, karena pada hakekatnya ia telah
menunaikan perintah Allah ketika tidak mendapatkan air untuk bertayammum. Ini
adalah pendapat Jumhur ulama. Diantara dalil mereka adalah hadits Abu Sa'id
al-Khudri:
أَنَّ رَجُلَيْنِ
تَيَمَّمَا وَصَلَّيَا، ثُمَّ
وَجَدَا مَاءً فِي الْوَقْتِ، فَتَوَضَّأَ أَحَدُهُمَا وَعَادَ لِصَلَاتِهِ مَا كَانَ
فِي الْوَقْتِ وَلَمْ يَعُدِ الْآخَرُ، فَسَأَلَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يَعُدْ: «أَصَبْتَ السُّنَّةَ
وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ». وَقَالَ لِلْآخَرِ: «أَمَّا أَنْتَ فَلَكَ مِثْلُ سَهْمِ
جَمْعٍ«
"Bahwa ada dua orang yang
bertayammum, lalu keduanya
shalat. Kemudian keduanya mendapatkan air pada waktu shalat tersebut belum selesai, maka
salah seorang dari keduanya berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang kedua tidak
mengulanginya. Setelah itu
keduanya bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang hal tersebut. Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada yang tidak mengulangi shalatnya,
"Kamu sesuai dengan Sunnah dan shalatmu sudah cukup." Lalu beliau bersabda kepada
yang mengulangi shalatnya,
"Kamu seperti mendapatkan bagian ganda." [HR. An-Nasaai, dishahihkan asy-Syaikh
al-Albani]
c.
Dia mendapatkan air ketika
sedang menunaikan shalat, apakah wajib baginya membatalkan shalatnya untuk
berwudhu dan mengulang shalatnya? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah
ini, yang mana masing-masing memiliki hujjah yang kuat.
·
Pendapat pertama:
Tayammumnya batal, wajib bagi dia keluar dari shalatnya untuk berwudhu. Ini
adalah pendapat Ahmad, Abu Hanifah, dan dinukilkan oleh al-Baghawi bahwa ini
pendapat kebanyakan ulama. Mereka berdalil dengan hadits:
»إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طَهُورُ المُسْلِمِ، وَإِنْ لَمْ
يَجِدِ المَاءَ عَشْرَ سِنِينَ، فَإِذَا وَجَدَ المَاءَ فَلْيُمِسَّهُ
بَشَرَتَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ«
"Sesungguhnya debu yang baik itu alat
bersucinya seorang muslim meskipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Maka jika ia telah
mendapatkan air,
hendaklah ia basuh kulitnya karena itu lebih baik." [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi
dan yang lainnya, dishahihkan asy-Syaikh al-Albani]
Pendapat ini dipilih oleh Ibnu
Hazm, asy-Syaikh al-'Utsaimin dan Syaikhuna dalam pelajaran al-Muntaqa.
·
Pendapat kedua: Shalatnya
tidak batal, bahkan boleh baginya menyelesaikan shalatnya dan tidak ada
kewajiban mengulang shalatnya. Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi'i, Ishaq,
azh-Zhahiriyah. Dalil mereka firman Allah Ta'ala;
{وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ}
"dan janganlah kamu
merusakkan (pahala) amal-amalmu. [QS. Muhammad: 33]
Mereka berkata: Apabila
seseorang mendapatkan budak dalam keadaan dia telah memulai puasa kafarah, maka
tidak wajib baginya berpindah untuk membebaskan budak, hal ini disebabkan
karena tidak adanya dalil secara nash maupun Ijma'. Ia telah menjalankan
perintah Allah bahwa jika tidak mendapatan air maka bertayammum, kemudian
shalat. Mana dalil yang mewajibkan dia harus keluar dari shalatnya?!
Pendapat ini dipilih
Syaikhuna dalam pelajaran Manhaj as-Saalikiin.
Wallahu a'lam, pendapat yang
mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah pendapat pertama, karena pendapat
ini lebih melepas tanggungan, keluar dari perselisihan ulama dan demi menjaga
kehati-hatian dia keluar berwudhu dan mengulangi shalatnya.
Wallahul muwaffiq ilash shawab
✏ [Ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin
Damiri Al Jawy_18 Dzulhijjah 1435/ 12 Oktober 2014_di Daarul Hadits Al
Fiyusy_Harasahallah].