عَنْ أَبِي مُوسَى
الْأَشْعَرِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ «أَتَيْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهُوَ يَسْتَاكُ بِسِوَاكٍ رَطْبٍ، قَالَ: وَطَرَفُ السِّوَاكِ
عَلَى لِسَانِهِ، وَهُوَ يَقُولُ: أع، أع، وَالسِّوَاكُ فِي فِيهِ، كَأَنَّهُ
يَتَهَوَّعُ».
“Dari
Abu Musa Al Asy’ari_radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku datang menemui Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku dapati beliau sedang bersiwak dengan siwak
yang masih basah. Dan ujung siwak berada di lisannya. sambil mengeluarkan
suara, “U’ U’.” Sementara kayu siwak berada di mulutnya seolah ingin muntah.”
[HR. Al Bukhari – Muslim]
Faedah yang terdapat dalam Hadits :
1.
Lebih utama bersiwak dengan kayu siwak yang
masih basah, karena hal itu lebih sempurna dalam membersihkan dan tidak melukai
mulut. Adapun kayu siwak yang sudah kering maka ujungnya pecah-pecah, maka hal
ini bisa melukai mulut atau gusi.
2.
Lebih utama bersiwak dengan kayu siwak yang
berasal dari pohon siwak yang sudah dikenal.
Berkata An Nawawi_rahimahullah: “Disunnahkan menggunakan siwak dari
batang pohon siwak” [Al Majmu’: 1/282]
Berkata Ibnul Qayyim_rahimahullah: “Sesuatu yang tepat untuk digunakan
bersiwak adalah yang berasal dari batang pohon siwak, tidak sepantasnya
mengambil siwak dari batang pohon yang tidak dikenal, karena bisa jadi dia
beracun.” [Zaadul Ma’ad: 4/296]
Masalah: Apakah sah jika bersiwak dengan jari?
Sebagian ulama mengatakan sah dan boleh-boleh saja, berdalil dengan
hadits Anas_radhiyallahu ‘anhu: “Sah-sah saja bersiwak dengan jari-jari” [HR.
Al Baihaqi, didha’ifkan oleh Syaikh Al Albani dalam kitab Al Irwa’ no 69]
Sebagian ulama memperinci; jika tidak ada yang bisa digunakan untuk
bersiwak kecuali dengan jari maka sah, namun jika ada maka tidak sah.
Wallahu a’lam, tidak ada dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersiwak dengan jari, namun jika memang tidak ada sesuatu yang bisa
digunakan untuk bersiwak kecuali dengan jari maka tidak mengapa, karena maksud
disyariatkan siwak adalah menghilangkan bau atau kotoran yang ada atau menempel
pada gigi atau lisan.
3.
Selain pada gigi, bersiwak juga disyariatkan
pada lidah.
4.
Boleh bagi seorang pemimpin untuk bersiwak
dihadapan bawahan atau rakyatnya. Hal ini tidaklah mengurangi kewibawaan dan
kehormatannya sebagai pemimpin.
قَالَ أَبُو مُوسَى:
“أَقْبَلْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعِي رَجُلَانِ
مِنَ الْأَشْعَرِيِّينَ، أَحَدُهُمَا عَنْ يَمِينِي، وَالْآخَرُ عَنْ يَسَارِي،
فَكِلَاهُمَا سَأَلَ الْعَمَلَ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْتَاكُ” الحديث
Abu Musa_radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya menemui Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersama dengan dua orang dari bani Al Asy’ariyin, seorang
berada di sisi kananku dan seorang lagi di sisi kiriku. Keduanya meminta diberi
jabatan, sementara saat itu beliau sedang bersiwak …..” [HR. Al Bukhari -
Muslim]
Hadits ini menjadi bantahan atas orang-orang yang beranggapan bahwa
bersiwak dihadapan manusia merupakan perbuatan yang kurang sopan.
Wallahu
a’lam wal muwaffiq ila ash shawab.
[✏ ditulis oleh
Abu ‘Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_5 Rabi’ul Awal 1435/6 Jan. 2014_di Daarul
Hadits Al Fiyusy_Harasahallah].