عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
– رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ «جَاءَ أَعْرَابِيٌّ، فَبَالَ فِي طَائِفَةِ
الْمَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ، فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ».
“Dari Anas bin
Malik_radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Seorang badui datang lalu kencing di
sudut Masjid, maka orang-orang pun ingin mengusirnya, namun Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam melarang mereka. Setelah orang itu selesai dari kencingnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minta setimba air lalu menyiram pada
bekasnya.”[HR. Al Bukhari - Muslim]
Faedah
yang terdapat dalam hadits:
1.
Air kencing adalah najis.
Berkata Al Imam
An Nawawy_rahimahullah: Ini adalah perkara yang telah di ijma’kan. Tidak
dibedakan antara (air kencing) orang besar dan anak kecil dengan kesepakatan
orang-orang (ulama) yang dianggap kesepakatannya. Hanya saja kencing bayi
laki-laki cukup dengan diperciki saja.”
[Syarah Muslim:
3/190]
Demikian pula Al
Imam An Nawawi dalam Syarah Muhadzdzab 2/549 menukilkan ijma’ bahwa kotoran
(tinja) manusia najis, baik itu kotoran orang dewasa maupun anak kecil.
2.
Tanah yang terkena air kencing bisa disucikan
dengan disiramkan padanya setimba air, tanpa harus menggali tanah yang terkena
kencing. Ini adalah pendapat Jumhur ulama. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa
hadits Anas ini khusus untuk tanah yang keras atau padat, adapun jika tanahnya
lembek maka harus digali tanah yang terkena kencing, dia berdalil dengan hadits
Anas bin Malik dengan lafazh:
«احْفِرُوا
مَكَانَهُ ثُمَّ صُبُّوا عَلَيْهِ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ»
“Galilah
tempatnya (yang terkena kencing) kemudian siramlah pada bekasnya dengan setimba
air”
[HR. Ad Daruquthny]
Hadits ini
dilemahkan Ad Daruquthny, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abdul
Jabbar, dia bersendirian dalam meriwayatkan lafazh ini.
Pendapat yang
kuat dan terpilih adalah pendapat Jumhur ulama. Ini adalah pendapat yang
dipilih Syaikh Al ‘Utsaimin_rahimahullah dan juga Syaikhuna ‘Abdurrahman Al
‘Adeni_hafizhahullah.
Masalah:
Apakah benda
najis itu hanya bisa disucikan atau dihilangkan dengan dengan air saja?
Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini;
Pendapat pertama:
Jumhur ulama
berpendapat harus dengan air. Mereka berdalil dengan hadits Anas bin Malik.
Sisi pendalilan mereka: “kalau seandainya najis bisa hilang dengan sekedar
kering saja tanpa disiram air, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
perlu repot-repot meminta air untuk menghilangkan najisnya.”
Pendapat kedua:
Imam Malik, Asy
Syafi’i, Abu Hanifah dan yang lainnya berpendapat bahwa najis bisa suci dengan
matahari, angin atau yang lainnya, yaitu jika tempat yang terkena najis dapat
kering dan hilang bekasnya dengan matahari, angin atau yang lainnya maka tempat
tersebut menjadi suci.
Dalil mereka
hadits Abu Hurairah_radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
«إِذَا وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الْأَذَى، فَإِنَّ التُّرَابَ
لَهُ طَهُورٌ»
“Apabila salah
seorang di antara kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka debu tanah
dapat menjadi penyuci baginya”.
[HR. Abu Dawud, dishahihkan Syaikh Al Albani]
Pendapat yang
kuat dan terpilih adalah pendapat kedua, bahwa najis bisa dihilangkan dengan
apa saja yang dapat menghilangkan bekas najis, baik dia hilang dengan matahari,
angin atau yang lainnya. Adapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan
air untuk menghilangkan najis tersebut karena air lebih cepat menghilangkan
najis dan mudah bagi umat. Ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam,
Ibnul Qayyim, Syaikh Al ‘Utsaimin_rahimahumullah dan Syaikhuna Abdurrahman Al
‘Adeny_hafizhahullah.
3.
Wajibnya menghormati masjid dengan menjaga
kebersihannya dan menjauhkannya dari segala bentuk benda najis. Oleh karena
itu, pada kelengkapan hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
kepada badui tersebut:
«إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا
الْبَوْلِ، وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ،
وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ»
“Sesungguhnya
masjid ini tidak layak dari kencing ini dan tidak pula kotoran tersebut. Ia
hanya untuk berdzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al Qur’an.” [HR. Muslim]
Allah Ta’ala
berfirman:
{ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ
تَقْوَى الْقُلُوبِ}
“Demikianlah
(perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [QS. Al Hajj: 32]
4.
Lembut dan hikmahnya dakwah Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam. Dalam hadits ini bukanlah berarti Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam membiarkan atau mengijinkan badui tersebut mengencingi masjid, hanya
saja Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para Shahabat untuk
berlemah lembut dalam menghadapi orang yang jahil (bodoh) terhadap suatu hukum.
Oleh karena itu, dalam riwayat Al Bukhary dari hadits Abu Hurairah_radhiyallahu
‘anhu dalam kisah badui ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا
مُعَسِّرِينَ»
“Sesungguhnya
kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat
kesulitan.” [HR. Al Bukhary]
Allah Ta’ala
mensifati Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Firman-Nya:
{لَقَدْ
جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ
عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ}
“Sungguh telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” [QS. At Taubah:
128]
5.
Apabila seseorang dihadapkan dengan dua mafsadah
(kerusakan) yang saling berhadapan dan tidak mungkin dihindari secara
bersamaan, maka solusinya menghindari yang paling besar bahayanya dengan
melakukan yang paling ringan (bahayanya). Dalam hadits ini; membiarkan badui
tersebut kencing di masjid adalah mafsadah, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam membiarkannya, karena apabila diingkari dalam keadaan dia sudah
kencing maka mafsadah akan lebih lebih besar, yaitu:
- Bisa jadi tempat yang terkena kencing bukan hanya satu tempat saja tetapi menyebar kemana-mana.
- Dan juga pakaian badui tersebut juga bisa terkena najis.
- Membuat lari badui tersebut dari agama, karena masih bodoh terhadap hukum suatu perkara.
- Berbahaya bagi kesehatan badui tersebut ketika diperintahkan berhenti dari kencing secara tiba-tiba.
Wallahul muwaffiq
ilash shawab
[✏ ditulis oleh Abu
'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_7 Rabi'uts Tsani 1435/ 7 Pebruari 2014_di
Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah]