FAEDAH-FAEDAH FIQHIYAH DARI KITAB ‘UMDATUL AHKAM (HADITS KEDUA PULUH ENAM)


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ «جَاءَ أَعْرَابِيٌّ، فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ، فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ».


“Dari Anas bin Malik_radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Seorang badui datang lalu kencing di sudut Masjid, maka orang-orang pun ingin mengusirnya, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka. Setelah orang itu selesai dari kencingnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minta setimba air lalu menyiram pada bekasnya.”[HR. Al Bukhari - Muslim]
Faedah yang terdapat dalam hadits:
1.      Air kencing adalah najis.
Berkata Al Imam An Nawawy_rahimahullah: Ini adalah perkara yang telah di ijma’kan. Tidak dibedakan antara (air kencing) orang besar dan anak kecil dengan kesepakatan orang-orang (ulama) yang dianggap kesepakatannya. Hanya saja kencing bayi laki-laki cukup dengan diperciki saja.”
[Syarah Muslim: 3/190]
Demikian pula Al Imam An Nawawi dalam Syarah Muhadzdzab 2/549 menukilkan ijma’ bahwa kotoran (tinja) manusia najis, baik itu kotoran orang dewasa maupun anak kecil.
2.      Tanah yang terkena air kencing bisa disucikan dengan disiramkan padanya setimba air, tanpa harus menggali tanah yang terkena kencing. Ini adalah pendapat Jumhur ulama. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa hadits Anas ini khusus untuk tanah yang keras atau padat, adapun jika tanahnya lembek maka harus digali tanah yang terkena kencing, dia berdalil dengan hadits Anas bin Malik dengan lafazh:
«احْفِرُوا مَكَانَهُ ثُمَّ صُبُّوا عَلَيْهِ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ»
“Galilah tempatnya (yang terkena kencing) kemudian siramlah pada bekasnya dengan setimba air”
[HR. Ad Daruquthny]
Hadits ini dilemahkan Ad Daruquthny, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abdul Jabbar, dia bersendirian dalam meriwayatkan lafazh ini.
Pendapat yang kuat dan terpilih adalah pendapat Jumhur ulama. Ini adalah pendapat yang dipilih Syaikh Al ‘Utsaimin_rahimahullah dan juga Syaikhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeni_hafizhahullah.

Masalah:
Apakah benda najis itu hanya bisa disucikan atau dihilangkan dengan dengan air saja?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini;
Pendapat pertama:
Jumhur ulama berpendapat harus dengan air. Mereka berdalil dengan hadits Anas bin Malik. Sisi pendalilan mereka: “kalau seandainya najis bisa hilang dengan sekedar kering saja tanpa disiram air, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak perlu repot-repot meminta air untuk menghilangkan najisnya.”
Pendapat kedua:
Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Hanifah dan yang lainnya berpendapat bahwa najis bisa suci dengan matahari, angin atau yang lainnya, yaitu jika tempat yang terkena najis dapat kering dan hilang bekasnya dengan matahari, angin atau yang lainnya maka tempat tersebut menjadi suci.
Dalil mereka hadits Abu Hurairah_radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إِذَا وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الْأَذَى، فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُورٌ»
“Apabila salah seorang di antara kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka debu tanah dapat menjadi penyuci baginya”.
[HR. Abu Dawud, dishahihkan Syaikh Al Albani]
Pendapat yang kuat dan terpilih adalah pendapat kedua, bahwa najis bisa dihilangkan dengan apa saja yang dapat menghilangkan bekas najis, baik dia hilang dengan matahari, angin atau yang lainnya. Adapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan air untuk menghilangkan najis tersebut karena air lebih cepat menghilangkan najis dan mudah bagi umat. Ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim, Syaikh Al ‘Utsaimin_rahimahumullah dan Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeny_hafizhahullah.
3.      Wajibnya menghormati masjid dengan menjaga kebersihannya dan menjauhkannya dari segala bentuk benda najis. Oleh karena itu, pada kelengkapan hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada badui tersebut:
«إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ، وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ»
“Sesungguhnya masjid ini tidak layak dari kencing ini dan tidak pula kotoran tersebut. Ia hanya untuk berdzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al Qur’an.” [HR. Muslim]
Allah Ta’ala berfirman:
{ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ}
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [QS. Al Hajj: 32]
4.      Lembut dan hikmahnya dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hadits ini bukanlah berarti Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkan atau mengijinkan badui tersebut mengencingi masjid, hanya saja Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para Shahabat untuk berlemah lembut dalam menghadapi orang yang jahil (bodoh) terhadap suatu hukum. Oleh karena itu, dalam riwayat Al Bukhary dari hadits Abu Hurairah_radhiyallahu ‘anhu dalam kisah badui ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ»
“Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.” [HR. Al Bukhary]
Allah Ta’ala mensifati Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Firman-Nya:
{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ}
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” [QS. At Taubah: 128]
5.      Apabila seseorang dihadapkan dengan dua mafsadah (kerusakan) yang saling berhadapan dan tidak mungkin dihindari secara bersamaan, maka solusinya menghindari yang paling besar bahayanya dengan melakukan yang paling ringan (bahayanya). Dalam hadits ini; membiarkan badui tersebut kencing di masjid adalah mafsadah, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkannya, karena apabila diingkari dalam keadaan dia sudah kencing maka mafsadah akan lebih lebih besar, yaitu:
  1. Bisa jadi tempat yang terkena kencing bukan hanya satu tempat saja tetapi menyebar kemana-mana.
  2. Dan juga pakaian badui tersebut juga bisa terkena najis.
  3. Membuat lari badui tersebut dari agama, karena masih bodoh terhadap hukum suatu perkara.
  4. Berbahaya bagi kesehatan badui tersebut ketika diperintahkan berhenti dari kencing secara tiba-tiba.

Wallahul muwaffiq ilash shawab
[ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_7 Rabi'uts Tsani 1435/ 7 Pebruari 2014_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah]