Faedah yang terdapat
dalam hadits:
6. Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "aku diberikan
(hak) syafa'at" yang dimaksud adalah Syafa'ah 'Uzhma (yang paling agung)
pada hari kiamat ketika manusia tertimpa kesedihan, kengerian dan kesukaran
yang tidak mampu mereka pikul.
Syafa'at
'Uzhma ini khusus diberikan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
saja. Ketika manusia datang kepada Adam, kemudian kepada Nuh, kemudian Ibrahim,
kemudian Musa dan Isa alaihimus salam, namun mereka semua tidak bisa memberi
syafa'at dan masing-masing mengatakan:
«نَفْسِي نَفْسِي، اذْهَبُوا إِلَى غَيْرِي»
"Oh
diriku, oh diriku (diriku sendiri butuh syafa'at), silahkan pergi menemui
selainku!"
Sehingga
akhirnya manusia pergi meminta kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam, lalu beliaupun bangkit untuk memohonkan syafa'at di sisi Allah Azza
wa Jalla untuk menyelamatkan hamba-hamba-Nya dari keadaan seperti ini. Allah
mengabulkan doa beliau dan menerima syafa'atnya.
Hal
ni termasuk Al-Maqam Al-Mahmud (tempat yang terpuji) yang telah dijanjikan oleh
Allah Ta'ala, sebagaimana dalam firman-Nya.
"Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu ; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." [QS. Al-Israa : 79]
7. Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "dan para Nabi
sebelumku diutus khusus untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh
manusia" hal ini sebagaimana yang Allah firmankan:
"Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tiada mengetahui." [QS. Saba': 28]
"Katakanlah:
"Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian
semua." [QS. Al-A'raaf: 158]
"Maha
suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya (nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam), agar dia menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam." [QS. Al-Furqaan: 1]
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ،
عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ،
ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا
كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ«
" Dari
Abu Hurairah dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwa
Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik Yahudi dan Nashrani
mendengar tentangku (risalahku), kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama
yang aku diutus dengannya,
kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka."
Masalah:
Pembatal
Tayammum
Pembatal
tayammum sama dengan pembatal wudhu, baik dari hadats kecil maupun besar. Dan
ditambah lagi jika telah didapatkannya air.
Seorang
telah bertayammum, kemudian mendapatkan air, maka dalam masalah ini ada
beberapa keadaan;
a. Dia mendapatkan air setelah keluar waktu shalat, contohnya dia
shalat Zhuhur dengan tayammum, kemudian pada waktu Asar dia mendapatkan air,
apakah wajib baginya mengulang shalat Zhuhurnya? Para ulama sepakat bahwa orang
tersebut tidak perlu mengulang shalatnya.
b. Dia mendapatkan air setelah selesai menunaikan shalat, sedangkan
waktu shalat tersebut masih tersisa, apakah wajib baginya mengulang shalatnya?
Pendapat yang kuat dan terpilih adalah tidak perlu baginya mengulang shalatnya,
karena pada hakekatnya ia telah menunaikan perintah Allah ketika tidak
mendapatkan air untuk bertayammum. Ini adalah pendapat Jumhur ulama. Diantara
dalil mereka adalah hadits Abu Sa'id al-Khudri:
أَنَّ
رَجُلَيْنِ تَيَمَّمَا وَصَلَّيَا، ثُمَّ وَجَدَا مَاءً فِي
الْوَقْتِ، فَتَوَضَّأَ أَحَدُهُمَا وَعَادَ لِصَلَاتِهِ مَا كَانَ فِي
الْوَقْتِ وَلَمْ يَعُدِ الْآخَرُ، فَسَأَلَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يَعُدْ: «أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ
صَلَاتُكَ». وَقَالَ
لِلْآخَرِ: «أَمَّا أَنْتَ فَلَكَ مِثْلُ سَهْمِ جَمْعٍ «
" Bahwa ada dua orang yang bertayammum, lalu keduanya shalat. Kemudian keduanya mendapatkan air pada waktu shalat tersebut belum selesai, maka salah seorang dari keduanya berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang kedua tidak mengulanginya. Setelah itu keduanya bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada yang tidak mengulangi shalatnya, "Kamu sesuai dengan Sunnah dan shalatmu sudah cukup." Lalu beliau bersabda kepada yang mengulangi shalatnya, "Kamu seperti mendapatkan bagian ganda." [HR. An-Nasaai, dishahihkan asy-Syaikh al-Albani]
c. Dia mendapatkan air ketika sedang menunaikan shalat, apakah
wajib baginya membatalkan shalatnya untuk berwudhu dan mengulang shalatnya?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yang mana masing-masing memiliki
hujjah yang kuat.
·
Pendapat pertama:
Tayammumnya batal, wajib bagi dia keluar dari shalatnya untuk berwudhu. Ini
adalah pendapat Ahmad, Abu Hanifah, dan dinukilkan oleh al-Baghawi bahwa ini
pendapat kebanyakan ulama. Mereka berdalil dengan hadits:
»إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طَهُورُ المُسْلِمِ، وَإِنْ لَمْ
يَجِدِ المَاءَ عَشْرَ سِنِينَ، فَإِذَا وَجَدَ المَاءَ فَلْيُمِسَّهُ
بَشَرَتَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ«
"Sesungguhnya
debu yang baik
itu alat bersucinya seorang muslim meskipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Maka
jika ia telah mendapatkan
air, hendaklah ia basuh kulitnya karena itu lebih baik." [HR. Abu
Dawud, at-Tirmidzi
dan yang lainnya, dishahihkan asy-Syaikh al-Albani]
Pendapat
ini dipilih oleh Ibnu Hazm, asy-Syaikh al-'Utsaimin dan Syaikhuna dalam
pelajaran al-Muntaqa.
·
Pendapat kedua: Shalatnya
tidak batal, bahkan boleh baginya menyelesaikan shalatnya dan tidak ada
kewajiban mengulang shalatnya. Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi'i, Ishaq,
azh-Zhahiriyah. Dalil mereka firman Allah Ta'ala;
{وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ}
"dan
janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. [QS. Muhammad: 33]
Mereka
berkata: Apabila seseorang mendapatkan budak dalam keadaan dia telah memulai
puasa kafarah, maka tidak wajib baginya berpindah untuk membebaskan budak, hal
ini disebabkan karena tidak adanya dalil secara nash maupun Ijma'. Ia telah
menjalankan perintah Allah bahwa jika tidak mendapatan air maka bertayammum,
kemudian shalat. Mana dalil yang mewajibkan dia harus keluar dari shalatnya?!
Pendapat
ini dipilih Syaikhuna dalam pelajaran Manhaj as-Saalikiin.
Wallahu
a'lam, pendapat yang mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah pendapat
pertama, karena pendapat ini lebih melepas tanggungan, keluar dari perselisihan
ulama dan demi menjaga kehati-hatian dia keluar berwudhu dan mengulangi
shalatnya.
Wallahul muwaffiq
ilash shawab
~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~
✏
Ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_18 Dzulhijjah 1435/ 12
Oktober 2014_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah.
~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~
Silahkan kunjungi
blog kami untuk mengunduh PDF-nya dan juga mendapatkan artikel atau pelajaran
yang telah berlalu:
www.pelajaranforumkis.wordpress.com atau www.pelajarankis.blogspot.com
www.pelajaranforumkis.wordpress.com atau www.pelajarankis.blogspot.com
~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~
WA. FORUM KIS