عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -
قَالَتْ «كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ، كِلَانَا جُنُبٌ. وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ. وَكَانَ يُخْرِجُ
رَأْسَهُ إلَيَّ، وَهُوَ مُعْتَكِفٌ، فَأَغْسِلُهُ وَأَنَا حَائِض.
"Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia
berkata: "Aku dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
pernah mandi bersama dari satu bejana. Saat itu
kami berdua sedang junub. Beliau juga pernah memerintahkan aku mengenakan
kain, lalu beliau mencumbuiku sementara aku sedang haid.
Beliau juga pernah mendekatkan kepalanya kepadaku saat beliau i'tikaf, aku lalu basuh kepalanya padahal saat itu aku sedang
haid." [HR. Al-Bukhari dan
Muslim]
Faedah yang terdapat dalam hadits:
1.
Boleh bagi pasangan suami istri
mandi bersama, meskipun keduanya sedang dalam keadaan junub. Telah datang pula
dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
وَكُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنَ الجَنَابَةِ
"Aku
pernah mandi junub dalam satu bejana bersama Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam." [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
2. Boleh bagi suami mencumbui
istrinya yang sedang haid, seperti membelai, mencium, menyentuhnya, atau yang
lainnya, selama tidak berjimak.
Masalah hukum menjimak istri
dalam keadaan haid:
Ini adalah perkara yang
diharamkan. Dalilnya firman Allah Ta’ala:
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu
adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri (bersetubuh) dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka (bersetubuh),
sebelum mereka suci (mandi). [QS. Al-Baqarah:222
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ
"Perbuatlah
segala sesuatu (pada istrimu) kecuali nikah (jimak)." [HR. Muslim]
Berkata al-Imam an-Nawawi rahimahullah: “Ini adalah perkara yang haram, sesuai dengan kesepakatan kaum muslimin, berdasarkan dalil dari al-Quran yang mulya dan hadits-hadits yang shahih.” [Syarah Muslim:3/204]
Berkata al-Imam an-Nawawi rahimahullah: “Ini adalah perkara yang haram, sesuai dengan kesepakatan kaum muslimin, berdasarkan dalil dari al-Quran yang mulya dan hadits-hadits yang shahih.” [Syarah Muslim:3/204]
Masalah hukum mencumbui wanita
haid pada bagian antara pusar dan lutut:
Mencumbui istri yang sedang
haid selain bagian antara pusar dan lutut merupakan perkara yang dihalalkan,
hal ini telah disepakati oleh para ulama sebagaimana dikatakan an-Nawawi
rahimahullah.
Adapun mencumbuinya pada bagian
antara pusar dan lutut, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
Pendapat yang kuat dan terpilih adalah boleh, selama tidak sampai berjimak. Hal
ini berdasarkan Firman Allah dan juga hadits Anas diatas, dimana Nabi
shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Perbuatlah segala sesuatu
(pada istrimu) kecuali nikah (jimak)." [HR. Muslim]
Ini adalah pendapat al-Imam
Ahmad, al-Hasan al-Bashri, ‘Ikrimah, Mujahid dan yang lainnya. Pendapat ini
dipilih oleh ash-Shan’ani rahimahullah.
Namun apabila seseorang merasa
dirinya tidak aman, kuatir akan jatuh pada perkara yang haram, maka hendaknya
dijauhi mencumbui istri pada bagian tersebut.
3.
Apabila seseorang menjimak
istrinya yang sedang haid, maka dia berdosa, karena telah jatuh dalam perkara
yang diharamkan.
Masalah: Apakah wajib baginya
membayar kafarah atas perbuatannya?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini;
Pendapat pertama: Dia
berdosa besar, wajib baginya bertaubat dan membayar kafarah. Ini adalah
pendapat Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, Sa’id bin Jubair dan yang lainnya. Dalil mereka
hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma;
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ
حَائِضٌ؟ قَالَ:]
يَتَصَدَّقُ
بِدِينَارٍ، أَوْ بِنِصْفِ دِينَارٍ[
“dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenai orang yang mendatangi
isterinya dalam keadaan sedang haid: "Ia harus bersedekah satu
dinar atau setengah dinar." [HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan]
Pendapat kedua : Dia berdosa besar,
wajib bagi dia bertaubat tanpa harus membayar kafarah. Ini adalah pendapat
Jumhur ulama. Dalil mereka adalah tidak ada dalil yang shahih yang bisa
disandarkan kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam. Adapun hadits diatas
mauquf (perkataan yang disandarkan) kepada Ibnu ‘Abbas [lihat ‘Ilal Ibnu Abi
Hatim 1/580-582] dan hadits tersebut telah dilemahkan pula oleh kebanyakan para
Huffazh (ahlul hadits) seperti ad-Daruquthni, al-Baihaqi, an-Nasaai dan yang
lainnya.
Pendapat yang kuat dan terpilih
adalah pendapat Jumhur ulama, wallahu a’lam.
4.
Disunnahkan bagi wanita yang
sedang haid mengenakan kain ketika bercumbu dengan suaminya.
5.
Larangan bagi orang yang melakukan
ibadah i’tikaf keluar dari tempat i’tikafnya (masjid). Adapun sekedar
mengeluarkan sebagian anggota badannya, seperti kepala, tangan atau kaki, maka
tidak mengapa.
6.
Wanita haid suci air liur dan
keringatnya.
Berkata asy-Syaukani rahimahullah: “Hal
ini tidak ada perselisihan (dikalangan para ulama) menurut apa yang saya
ketahaui.”
Dalil yang menunjukan hal ini
adalah hadits ‘Aisyah diatas dan juga hadits dalam riwayat Muslim, dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ، ثُمَّ
أُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى
مَوْضِعِ فِيَّ، فَيَشْرَبُ، وَأَتَعَرَّقُ الْعَرْقَ وَأَنَا حَائِضٌ، ثُمَّ
أُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ
“Aku minum
ketika aku sedang dalam keadaan haid, kemudian
aku memberikannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, lalu beliau meletakkan mulutnya pada tempat
mulutku (ketika minum) ". [HR. Muslim]
Wallahul muwaffiq ilash shawab
Disusun oleh Abu 'Ubaidah bin Damiri Al Jawy_26 Jumadal U’la 1436/ 17 Maret 2015_di kota Ambon Manise.
Silahkan
kunjungi blog kami untuk mendapatkan artikel kami yang telah berlalu dan
mengunduh PDF-nya serta 2 aplikasi android Forum KIS di :