عَنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا – }أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ اُسْتُحِيضَتْ سَبْعَ سِنِينَ، فَسَأَلَتْ رَسُولَ
اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ ذَلِكَ؟ فَأَمَرَهَا أَنْ
تَغْتَسِلَ، قَالَتْ: فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ لِكُلِّ صَلَاةٍ{.
“Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
“Sesungguhnya Ummu Habibah tertimpa darah istihadhah selama tujuh tahun. Lalu
ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang masalah itu.
Beliau lalu memerintahkan kepadanya untuk mandi. Aisyah berkata: “ia selalu
mandi setiap kali akan shalat.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Faedah yang terdapat dalam hadits :
1.
Permasalahan dalam hadits ini telah lewat
pembahasannya pada hadits ke 39, yaitu apakah wajib bagi mustahadhah mandi
setiap kali akan shalat?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini,
sedangkan pendapat yang kuat dan terpilih adalah tidak wajib baginya mandi
setiap kali akan shalat, karena tidak adanya dalil yang shahih yang menunjukan
perintah demikian dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini adalah pendapat
Jumhur Salaf dan Khalaf.
Berkata an-Nawawi rahimahullah: Dalil kami
ialah bahwa hukum asalnya adalah tidak wajib, maka tidaklah diwajibkan kecuali
dengan apa yang datang dari syariat. Tidak sah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam memerintahkannya (Ummu Habibah) untuk mandi kecuali satu kali saja
ketika telah selesai dari haidnya. [Syarhul Muhadzdzab: 2/535-536]
Pendapat ini dipilih oleh asy-Syaikh Muhamad
bin Ibrahim Alu Syaikh, asy-Syaikh Bin Baz, asy-Syaikh al-‘Utsaimin, asy-Syaikh
Muqbil dan Syaikhuna Abdurahman al-‘Adeni.
Adapun hadits:
فَلْتَغْتَسِلْ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ،
وَلْتُصَلِّ
“hendaknya kamu mandi setiap kali mau shalat
dan shalatlah kamu.” [HR. Al-Baihaqi, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasaai]
Lafazh perintah mandi setiap kali mau shalat
adalah lafazh yang Syadz. Telah dijelaskan oleh al-Imam al-Baihaqi sisi
kelemahannya.
Bagaimana dengan perbuatan Ummu Habibah dalam
hadits diatas?
Adapun perbuatan Ummu Habibah mandi setiap kali
akan menunaikan shalat adalah ijtihad dari dirinya, bukan dari perintah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun perintah mandi dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam hanya ketika telah usai dari haidnya.
2. Disyariatkan bagi setiap muslim untuk bertanya
tentang perkara-perkara yang dibutuhkan dalam agamanya kepada orang yang
berilmu. Allah Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. An Nahl: 43]
3.
Disebutkan oleh Ibnu Hajar dan al-Imam
An-Nawawi bahwa boleh bagi seorang wanita meminta fatwa tentang perkara-perkara
yang dibutuhkan dalam agamanya secara langsung kepada orang berilmu, namun hal
ini dengan syarat
a.
Aman dari fitnah. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً
أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku
yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.”
[Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma]
b.
Tidak melembutkan suara saat bertanya. Allah
Ta’ala berfirman:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ
فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ
قَوْلاً مَعْرُوفاً
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kalian (para istri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga
lelaki yang memiliki penyakit dalam hatinya menjadi tergoda dan ucapkanlah
perkataan yang ma’ruf (baik).” [QS. Al-Ahzab: 32]
Namun meskipun demikian, jika dia punya ayah,
saudara laki-laki atau paman, maka lebih utama baginya meminta tolong lewat
mereka untuk menanyakan perkara-perkara yang dibutuhkan dalam agamanya.
4.
Jika bertanya hendaknya dari balik hijab. Allah
Ta’ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ
حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu
hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi hati
kalian dan hati mereka.” [QS. Al-Ahzab: 53]
5. Tidak khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan
wanita tanpa mahram. Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ
اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui
wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu
dengan kerabat suami?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Mereka adalah kebinasaan.” [Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir
radhiyallahu ‘anhu]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga
bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ
بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian
berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” [Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma]
6.
Suara wanita bukanlah aurat, sebagaimana
disebutkan oleh para ulama, seperti; Asy-Syaikh Bin Baz, Asy-Syaikh al-‘Utsaimin,
al-Lanjah ad-Daaimah dan yang lainnya.
Wallahul muwaffiq ilash shawab
Ditulis oleh Abu ‘Ubaidah Iqbal bin Damiri Al
Jawy_15 Muharam 1436/ 8 November 2014_di Daarul Hadits al-Fiyusy_Harasahallah.