HUKUM UDHIYAH.
Setelah para ulama sepakat atas disyariatkannya
ibadah udhiyah ini, kemudian mereka berbeda pendapat dalam permasalahan hukumnya,
apakah dia wajib ataukah mustahab (sunnah)? Melihat dari pemaparan
masing-masing pendapat yang ada, maka pendapat yang kami anggap kuat dan
terpilih adalah bahwa hukum udhiyah sunnah muakkadah (yang sangat dianjurkan).
Hal dengan beberapa alasan;
1.
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu;
«مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا»
"Barangsiapa memiliki keluasaan (untuk
berkurban) namun tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat
kami." [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
Hadits diatas secara zhahir menunjukan kewajiban
berkurban. Namun para ulama berselisih dalam menghukumi hadits ini, apakah dia
marfu’ (sampai) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ataukah mauquf
(terhenti) pada Abu Hurairah. Para ulama ahlul hadits seperti; At-Tirmidzi,
al-Baihaqi, ath-Thahawi, Ibnu Abdul Hadi dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
berpendapat bahwa hadits marfu’ lemah, yang benar hadits tersebut mauquf.
2.
Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا
دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَمَسَّ مِنْ
شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
"Jika telah tiba sepuluh (awal dzul Hijjah)
dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah mencukur rambut
atau memotong kuku sedikitpun." [HR. Muslim]
Dalam hadits ini menunjukan bahwa udhiyah
diperuntukan bagi yang mau saja, sedangkan jika seseorang tidak akan berkurban
maka tidaklah berdosa.
3.
Telah sah riwayat dengan sanad yang shahih dari Abu
Bakr, Umar bin al-Khathab dan Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhum, bahwa
mereka pernah meninggalkan ibadah udhiyah dalam keadaan mereka memiliki
kemampuan. Hal ini mereka lakukan agar tidak dianggap oleh kaum muslimin bahwa
udhiyah adalah merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan bagi yang mampu.
Tiga alasan inilah yang menguatkan bahwa hukum
udhiyah atau berkurban adalah sunnah muakkadah (yang sangat dianjurkan). Ini
adalah pendapat jumhur ulama. Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Mundzir, Ibnu
Qudamah, ash-Shan’ani, asy-Syaikh Bin Baz, al-Lajnah ad-Daimah.
HUKUM UDHIYAH BAGI YANG BERNADZAR.
Barangsiapa bernadzar melakukan udhiyah, maka wajib
baginya menunaikan nadzarnya. Para ulama 4 madzhab sepakat dalam masalah ini.
KAPAN KAMBING, SAPI ATAU ONTA DINYATAKAN SEBAGAI
HEWAN KURBAN?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini
menjadi tiga pendapat;
Pendapat pertama: Ketika seseorang telah mengucapkan ‘ini hewan
kurbanku’, maka dengan ini hewan tersebut harus dijadikan sebagai hewan kurban.
Ini adalah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah. Pendapat ini dipilih asy-Syaikh
al-‘Utsaimin.
Pendapat kedua: Ketika seseorang membelinya dengan niat akan
dijadikan hewan kurban, maka hewan tersebut harus dijadikan hewan kurban. ini
adalah pendapat Hanafiyah dan sebagian ulama Hanabilah. Pendapat ini dipilih
Syaikhul Islam dan al-Lajnah ad-Daimah.
Pendapat ketiga: Tidaklah dinyatakan sebagai hewan kurban sampai
dia menyembelihnya. Adapun sekedar membeli dengan niat akan berkurban atau
ucapan, maka tidak mengharuskan untuknya menjadikan hewan tersebut sebagai
hewan kurban. Ini adalah pendapat Malikiyah dan dipilih oleh asy-Syaukani.
Faedah dari permasalahan diatas adalah jika
seseorang telah menentukan hewan kurbannya dengan ucapan atau membelinya dengan
niat untuk udhiyah, maka hewan yang telah ditentukan tadi tidak boleh dimakan
sebelum tiba waktu penyembelihannya, tidak boleh dijual, tidak boleh dijual
susunya dan tidak boleh diganti dengan hewan yang lainnya kecuali jika diganti
dengan yang lebih baik lagi.
Adapun menurut pendapat ketiga maka tidak mengapa
jika semua itu dilakukan, karena tidak ada dalil yang mengharuskan demikian.
Wallahu
a’lam bish shawaab.
-----------------------------
✒ Disusun
oleh Abu 'Ubaidah bin Damiri al-Jawy, 1 Dzulhijjah 1436/ 15 September 2015_di
kota Ambon Manise.